15 Januari 2008

Titik Balik Kesadaran : Merajut Kembali Yang Berserak

(Refleksi Hari Ultah-ku yang Ke-25, 15 Januari 2008)

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Heidegger bahwa manusia (dasein) menemukan dirinya terlempar ke dunia dan berlumuran sejarah. Manusia selalu menemukan dirinya terkurung dalam tradisi yang membatasi kemungkinan-kemungkinannya. Hamparan kemungkinan-kemungkinan tersebut yang menjadikan manusia sering menghadapi rasa cemas. Sejarah adalah medium pengungkapan makna. Sejarah, bagi Heidegger sarat dengan kejutan dan patahan.

Seperti itulah mungkin kondisi yang aku alami saat ini. Masa depan yang belum jelas dengan kemungkinan-kemungkinan yang susah ditebak membuat diriku sering mengalami kecemasan. Seringkali aku menemukan diriku teralienasi atas apa yang telah aku rencanakan sebelumnya. Patahan demi patahan hidup membuat diriku lelah dalam menggapai cita. Dibutuhkan energi yang cukup besar untuk merubah atau pun merevisi kembali agenda hidup yang gagal menjadi agenda hidup yang baru. Tapi inilah seni hidup, dan tulisan ini aku buat sebagai salah satu cara untuk membangkitkan kembali energi juangku yang mulai kendur.

15 Januari 2008, hari ini aku ulang tahun yang ke-25, usia yang tidak bisa dikatakan anak-anak lagi—walaupun sering kali aku menemukan dan menyadari diriku masih sering bersikap kekanak-kanakan dalam menghadapi setiap persoalan hidup.

Dengan usia yang semakin dewasa dan ukuran otot yang semakin besar, serta pengetahuan yang semakin luas, bukannya membuat hidup semakin ringan. Justru dengan bertambahnya usia ini membuat hidup semakin berat dan keras.

Hari ini, tidak lebih istimewa dari hari-hari biasanya, tidak ada prestasi hidup yang menggembirakan, apalagi membanggakan. Secara psikologis, mungkin hari ini ada sedikit suasana jiwa yang beda. Bagiku, hari ini menjadi ajang refleksi besar-besaran atas jejak-jejak langkahku mengarungi waktu beberapa tahun yang telah lewat. Mengamati keseluruhan kondisi diri hari ini, mengevaluasinya dengan renungan masa lalu, dan kemudian merancang kembali masa depan.

Aku teringat dengan apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandi : Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum. Ungkapan Gandi tersebut mensaratkan agar kita memanfaatkan hidup ini dengan berbuat yang terbaik untuk diri pribadi dan tentunya berbuat yang terbaik pula untuk orang lain. Menjadikan diri menjadi sosok yang ‘berarti’.

15 Januari 2008 ini aku kembali tersentak, menyadari diriku belum melakukan sesuatu yang terbaik untuk diri dan orang-orang yang aku cintai. Selama ini aku sering lalai dan larut dalam keseharian yang melenakan. Aku hanya menjadi sosok pemimpi yang terjebak dalam ketidakpastian. Bahkan aku merasakan ada benih-benih pengingkaran terhadap pesan Nabi Muhammad SAW kepada ummatnya, bahwa : Tiga sifat manusia yang merusak adalah kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. Astagfirlaahal azhiim… Astagfirlaahal azhiim… Astagfirlaahal azhiim… Ampunilah dosaku ya Allah!!!

Sebuah Refleksi

Thomas A. Edison, penemu dan pendiri Edison Electric Light Company, mengatakan : Jenius adalah, 1% inspirasi dan 99% keringat. Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. 99% itulah yang belum aku laksanakan sungguh-sungguh selama ini. Aku hanya membangun impian tanpa dibarengi ikhtiar untuk menggapainya. Seringkali aku menemukan kesempatan untuk berbuat yang terbaik dalam hidupku namun sayang aku tidak memiliki kesiapan untuk menyambut kesempatan itu.

Dengan telak, ungkapan Alexander Graham Bell, menyentak diriku yang sering meratapi kegagalan. Graham Bell berkata : Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka; namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup tersebut terlalu lama hingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. Ungkapan yang begitu tepat sasaran mengenai titik kesadaranku. Aku harus bangkit, aku harus menjadi sosok yang possibility, berpikir positif dan optimis.

Aku harus bangun dari mimpi panjangku yang pasif, yang selalu menggantungkan harapan akan datangnya keajaiban menghampiri dan menyelesaikan segala problematika hidupku. Ingat, 99% persen keringat, intinya, kerja keras. Namun perlu diingat pula pesan dari Gordon Van Sauter (Mantan Presiden CBS News), jangan biarkan jati diri menyatu dengan pekerjaan Anda, jika pekerjaan Anda lenyap, jati diri Anda tidak akan pernah hilang. Pesan yang begitu berharga agar aku tidak diperbudak oleh pekerjaan.

Dan jangan lupa pesan dari May Kay Ash, kejujuran adalah batu penjuru dari segala kesuksesan, pengakuan adalah motivasi terkuat, bahkan kritik dapat membangun rasa percaya diri saat “dsisipkan” diantara pujian.

Mereka semua adalah CEO kelas dunia yang telah membantuku merefleksikan segala kekurangan dan kelebihanku. Namun semuanya akan kembali kepada diriku, apakah refleksi yang aku lakukan tepat pada hari ulang tahunku ini akan tertanam dalam jiwaku ataukah akan kembali menguap seiring bergantinya hari dan musim. Entahlah… namun 15 Januari 2008 ini menjadi saksi akan komitmenku untuk membenahi dan memperbaiki diri menjadi lebih baik.

Merajut Kembali Yang Berserak : Sebuah Mimpi

Sejak SD, ketika aku sudah bisa berpikir seperti orang dewasa, aku sudah mulai bisa bermimpi. Saat SMU, aku pun punya mimpi yang terkadang mimpi itu dating begitu saja tanpa diundang. Entah kenapa, selain kerja keras, aku merasa ada sebuah kekuatan lain yang membantuku merealisasikan mimpi-mimpi itu. Aku merasa yakin bahwa kekuatan itu lahir dari sebuah doa, yah…sebuah doa. Jangan remehkan perkara doa, terutama doa dari kedua orang tua. Doa menjadi keajaiban tersendiri dalam hidup ini, sesuatu yang tidak mungkin sekalipun bisa menjadi mungkin berkat sebuah doa.

Ada sebuah mimpi ketika aku sudah berada di Perguruan Tinggi, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan terwujud. Semoga 15 Januari 2008 ini, akan memberikan energi baru pada mimpiku agar gravitasinya semakin kuat menarikku keperaduannya. Mimpi itu adalah : “Aku ingin jadi orang ‘besar’, namun penuh ke-bersahaja-an dan ke-sederhana-an”. Aku ingin membuat Ibuku bangga telah mengandungku selama 9 bulan lamanya, melahirkan serta merawatku hingga besar dengan penuh cinta. Aku ingin membuat bangga Ayahku di alam kubur sana, seorang ayah yang buta aksara, namun tegar dalam menahan badai kehidupan yang menghantam keluarganya, seorang ayah yang dengan cangkul dan sepetak kebun mampu menyekolahkan aku hingga masuk Perguruan Tinggi.

Pada tahun 2008 ini, aku punya mimpi, pertama, lanjut kuliah, bagaimana pun juga aku harus sarjana, entah kapan yang penting bisa sarjana dan kemudian melanjurkan ke S2; kedua, beli motor, ini penting bagiku untuk menghemat waktu perjalanan dan menghemat pengeluaran transportasi. Dengan adanya motor aku juga akan semakin gesit beraktifitas; ketiga, beli tanah, ini merupakan infestasi masa depan yang menguntungkan. Kebetulan aku sudah punya niat untuk hidup di Makassar, jadi tanah begitu penting untukku untuk selanjutnya didirikan rumah diatasnya.

Terakhir, aku ingin kembali menuliskan ungkapan dari Mahatma Gandi : Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum. Semoga 15 Januari 2008 ini menjadi titik balik kesadaranku untuk menggapai mimpiku. Amin…!!!

11 Januari 2008

Khittah Perjuangan dan Posmodernisme

Khittah Perjuangan dikenal sebagai buah karya intelektual kader-kader HMI. Selain sebagai nalar bentukan kader-kader HMI, Khittah Perjuangan juga merupakan nalar pembentuk kader-kader HMI. Namun terkadang muncul pikiran nakal saya untuk mempertanyakan, apakah memang benar Khittah Perjuangan adalah nalar bentukan kader-kader HMI? Jika memang benar, apakah Khittah Perjuangan telah merepresentasikan seluruh pemikiran kader-kader HMI? Apakah Khittah Perjuangan mampu menjawab kebutuhan kader-kader HMI 5 sampai 10 tahun kedepan? Dan apakah Khittah Perjuangan mampu mengatasi posmodernitas serta geliat wacana posmodernisme yang selama ini juga dikonsumsi oleh sebagian kader-kader HMI?

Bila kita merujuk pada Khirarki Konstitusi HMI, maka Khittah Perjuangan berada pada posisi aturan penjelas, dimana Khittah Perjuangan menjelaskan pasal-pasal tentang asas, tujuan dan independensi dalam AD. Bahkan Khittah Perjuangan ditempatkan sebagai Falsafah Gerakan HMI.

Sebagai falsafah gerakan, menjadikan posisi Khittah Perjungan sangat fital dalam membentuk karakter kader-kader HMI. Bayangkan saja, dalam setiap bulannya, ratusan Mahasiswa Islam yang tersebar ditanah air, direkrut menjadi anggota HMI dengan menggunakan ”saringan” Khittah Perjuangan.

Kita bersama telah mengetahui bahwa Khittah Perjuangan dalam Basic Training (LK 1) menekankan para proses ideologisasi. Doktrin atau tafsir asas (Islam) ala HMI, yang digunakan dalam Basic Training (LK 1) adalah muatan dari Khittah Perjuangan, sehingga diharapkan dalam jiwa lepasan Basic Training (LK 1) tersebut hingga menjadi kader dan alumni, akan terus bersemayam Khittah Perjuangan.

Khittah Perjuangan bukan sekedar teks belaka yang memiliki muatan Keyakinan Muslim, Wawasan Ilmu, Wawasan Sosial, Kepemimpinan dan Etos Perjuangan, serta menyajikan 16 ayat-ayat ulul albab, namun lebih jauh Khittah Perjuangan sangat menentukan seperti apa model kader-kader HMI kedepan. Olehnya itu, sedikit saja ada ”kesalahan” dalam Khittah Perjuangan, maka secara tidak langsung kader-kader HMI telah tersesatkan. Tidak mengherankan jika suatu saat nanti ditemukan kader-kader yang berideologi Khittah Perjuangan, namun gagap menghadapi perubahan zaman, kader-kader yang mengalami absurditas dan mengalami alienasi dalam realitasnya sendiri.

Sekilas tentang Wacana Posmodernisme
Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba; pertama, mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme; kedua, kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni modern; ketiga, wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi, serta tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan nilai-simbol.

Komaruddin Hidayat dalam esainya “Melampaui Nama-Nama; Islam dan Posmodernisme”, mengutip Akbar S. Ahmed dalam Postmodernism and Islam (1992), bahwa Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol, yaitu:

Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu.

Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.

Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.

Seperti itulah kondisi posmodernitas. Nah, sekarang apakah Khittah Perjuangan mampu mengatasi kondisi tersebut ataukah sebaliknya, Khittah Perjuangan telah tergilas oleh kondisi posmodernitas. Sebagai falsafah gerakan HMI, semestinya Khittah Perjuangan mampu mengatasi kondisi posmodernitas tersebut dan “mengemas” wacana posmodernisme dengan baik. Namun, apakah Khittah Perjuangan yang ada saat ini mampu melakukan hal tersebut?

Khittah Perjuangan : Pemikiran Siapa???
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa posisi Khittah Perjungan sangat fital dalam membentuk karakter kader-kader HMI, namun apakah memang benar Khittah Perjuangan adalah nalar bentukan kader-kader HMI? Jika memang benar, apakah Khittah Perjuangan telah merepresentasikan seluruh pemikiran kader-kader HMI ataukah Khittah Perjuangan hanya merepresentasikan segelintir atau sekelompok orang saja? Apakah Khittah Perjuangan mampu menjawab kebutuhan kader-kader HMI 5 sampai 10 tahun kedepan? Dan apakah Khittah Perjuangan mampu mengatasi posmodernitas yang melingkupinya serta geliat wacana posmodernisme yang selama ini juga dikonsumsi oleh sebagian kader-kader HMI?

Mungkin kita semua menyepakati bahwa Khittah Perjuangan ditetapkan dan di-sah-kan ditingkat Kongres, namun apakah Khittah Perjuangan betul-betul telah merepresentasikan seluruh pikiran peserta kongres yang hadir pada saat itu?

Sebagai bahan pertimbangan bahwa, jika kita ingin mengkritisi penjelasan dari muatan Khittah Perjuangan, maka kita dapat menemukan sebuah bangunan logika yang sangat Hegelian dan hal tersebut sangat modernis. Tentu hal ini berseberangan dengan kondisi posmodernitas yang melingkupi HMI saat ini serta geliat wacana posmodernisme yang selama ini juga dikonsumsi oleh sebagian kader-kader HMI. Jika kondisi posmodernitas saja tidak mampu diatasi oleh Khittah Perjuangan, bagaimana bisa ia (baca : Khittah Perjuangan) mampu menjawab kebutuhan kader-kader HMI 5 sampai 10 tahun kedepan.

Perlu adanya Kritik Khittah
Semua pertanyaan-pertanyaan mendasar diatas harus mampu dijawab oleh Khittah Perjuangan. Jika tidak, lebih baik Khittah Perjuangan dibuang saja ke tong sampah dari pada akan menyesatkan banyak orang jika digunakan sebagai falsafah gerakan HMI. Olehnya itu kritik terhadap Khittah Perjuangan perlu untuk dilakukan secara terus menerus.

Namun yang perlu dihindari dalam melakukan kritik Khittah adalah sakralisasi berlebihan terhadap Khittah, sehingga alih-alih melakukan kritik-konstruktif terhadap Khittah, malah sebaliknya kita akan semakin mengokohkan kemapanan Khittah yang telah ada.

Hal penting lain yang perlu diperhatikan bahwa Khittah Perjuangan harus merepresentasikan seluruh kader-kader HMI, Jika hal tersebut tidak dilakukan maka bisa terjadi sebuah hegemoni dan dominasi ”kuasa” tertentu didalam Khittah.

Istilah hegemoni, kita tahu berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Begitu pun dengan dominasi ”kuasa” tertentu akan menyeret kader-kader HMI pada sebuah wacana pendisiplinan dan normalisasi. Hal ini akan membawa kader-kader HMI menjadi homogen dan dengan demikian HMI akan kehilangan jati dirinya sebagai organisasi yang plural.

Agar Khittah Perjuangan bisa merepresentasikan semua kader-kader HMI, maka hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah bagaimana mengangkat dan membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan. Karnaval multikulturalisme yang beragam suaranya dan setara posisi perlu disemaikan. Dengan demikian tidak ada lagi kader-kader HMI yang berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.

Sarat utama agar pengetahuan-pengetahuan yang tertekan dan suara-suara subaltern tersebut dapat muncul kepermukaan, tentunya dengan melakukan perombakan terhadap muatan Khittah Perjuangan yang ada saat ini. Penjelasan muatan Khittah Perjuangan yang ada saat ini terlalu meng-khusus dan terperinci, sehingga menutup ruang ekspresi yang lebih meluas.

Penjelasan muatan khittah yang terlalu meng-khusus sarat dengan dominasi ”kuasa” tertentu, dan hal ini bisa menyeret kader-kader HMI menjadi satu warna dalam bangunan logika ”khusus” tersebut. Dengan demikian alih-alih ingin mengangkat dan membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan, justru yang terjadi adalah sebuah proses ”pembunuhan” terhadap pengetahuan-pengetahuan yang tertekan tersebut.

Dengan penjelasan muatan Khittah Perjuangan yang terlalu meng-khusus dan terperinci tidak akan mampu merepresentasikan semua pemikiran kader-kader HMI, ia hanya mampu merepresentasikan segelintir atau sekelompok orang tertentu saja.

Andaikan Saja...
Jika saja penjelasan muatan Khittah Perjuangan seperti Muqaddimah dalam Anggaran Dasar HMI (Umum namun menjiwai seluruh pasal yang ada dalam AD), tentu hal ini memungkinkan merepresentasikan semua pemikiran kader-kader HMI. Pemaparan tentang Khittah Perjuangan tidak perlu panjang lebar dan membutuhkan kertas berlembar-lembar, cukup intinya saja namun mampu menjiwai muatan Keyakinan Muslim, Wawasan Ilmu, Wawasan Sosial, Kepemimpinan dan Etos Perjuangan.

Khittah Perjuangan seperti ini tentu mampu mengakomodasi seluruh pemikiran kader-kader HMI. Tidak ada lagi kader-kader HMI yang berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. Pengetahuan-pengetahuan yang tertekan dan suara-suara subaltern dapat muncul kepermukaan. Dengan demikian HMI akan semakin berwarna-warni dan lebih terbuka atas perubahan zaman.

~ Makassar, 09 Januari 2008 ~

10 Januari 2008

Wacana Makassar Studies

Akankah Makassar Studies—sebagai cara pandang yang khas ala Makassar
dalam mendefinisikan diri (the self), yang lain (the other), dan realitas Makassar itu sendiri
tumbuh dan berkembang di Makassar !

Ataukah Makassar Studies
hanyalah sebuah bentuk Objektivikasi terhadap Makassar !


Wacana Makassar Studies merupakan sebuah upaya untuk menemukan cara pandang yang khas ala Makassar dalam mendefinisikan diri (the self), yang lain (the other), dan realitas Makassar itu sendiri. Namun ada beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam mengenai Makassar Studies, jangan sampai justru Makassar studies terjebak dalam bentuk orientalisme gaya baru. Maksudnya bahwa Makassar studies tetap merupakan penjelasan atau cara pandang ‘yang lain’ (the other) terhadap Makassar sebagai obyek.

Olehnya itu, untuk melihat hal tersebut secara lebih jernih maka dibutuhkan sebuah pembacaan mendalam terhadap cultural studies dan hubungannya dengan Makassar studies.

Menurut Ahmad Baso, bahwa cultural studies adalah salah satu bentuk analisis --ada yang menyebutnya pula sebagai sebuah gerakan-- untuk membaca peta dominasi maupun resistensi. Yakni membaca bagaimana kebudayaan menjadi arena untuk melakukan dominasi, sekaligus sebagai alat untuk memainkan negosiasi ataupun perlawanan.

Cultural studies adalah sebuah kerangka analisis yang sulit didefinisikan secara ketat, disatu sisi cultural stadies adalah sesuatu yang antidisiplin, disisi lain cultural studies adalah sesuatu yang multidisiplin. Dikatakan antisiplin karena cultural studies tidak menyandarkan diri pada standar-standar disiplin ilmu tertentu yang terlembagakan. Dan dikatakan multidisiplin karena cultural studies menggunakan berbagai macam perspektif disiplin ilmu dalam memandang realitas.

Secara sepintas terlihat bahwa cultural studies merupakan wacana yang genit, termasuk wacana Makassar Studies. Cultural studies muncul karena kegagalan sosiologi dalam menjelaskan realitas masyarakat kontemporer, terutama kegagalannya untuk menjadi corong bagi segala aspirasi yang timbul pada setiap lapisan sosial yang ada, terutama suara-suara yang muncul dari lapisan pheriferi atau subaltern. Begitu pula halnya dengan Makassar Studies. Seharusnya Makassar Studies muncul karena adanya kegelisahan yang muncul dari subaltern, namun tidak mendapatkan ruang yang leluasa untuk mengekspresikan dirinya.

Wacana cultural studies adalah wacana yang multi perspektif, dan juga sebagai ajang perlawanan terhadap dominasi. Cultural Studies merupakan ruang bagi subaltern bicara, karena didalamnya memberikan ruang yang selembar-lebarnya bagi subaltern untuk mengekspresikan dirinya. Makassar sebagai subaltern tentunya juga membutuhkan ruang yang luas untuk bicara dan mengekspresikan dirinya. Disinilah Makassar studies hadir sebagai ruang bagi subaltern untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi yang ada.

Karena Makassar Studies diorientasikan menjadi ruang untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu, maka seharusnya Makassar studies harus mampu, pertama, betul-betul menjadi cara pandang Makassar atas dirinya (the self). Ini berarti bahwa Makassar Studies harus berbicara bagaimana orang Makassar memperlakukan tradisi yang melekat dan tumbuh di Makassar, tradisi yang dimaksud tentunya merupakan representasi dari identitas diri Makassar. Tradisi menjadi begitu penting, karena bagi Hasan Hanafi, tradisi masih dijadikan sumber otoritas, yang dipakai untuk menolak ataupun memberikan dukungan. Yang menjadi titik tekan disini adalah bagaimana Makassar Studies betul-betul mampu menjelaskan, memaknai, dan mendefinisikan tradisi Makassar sebagai representasi dari dirinya sendiri.

Kedua, Makassar studies sebagai cara pandang atas yang lain (the other), maksudnya bahwa Makassar studies berbicara tentang realitas yang tumbuh dan berkembang diluar diri atau tradisi Makassar. Hal ini berkaitan dengan kondisi modernitas yang melingkupi tradisi yang tumbuh di Makassar, sebagai sesuatu yang berasal dari luar. Kondisi modernitas yang tumbuh dan berkembang di Makassar tentunya sangat berimplikasi terhadap pergeseran tradisi Makassar, bahkan hal ini dapat menciptakan adanya hibriditas yang lahir dari hasil persinggungan modernitas dengan tradisi Makassar. Pada konteks ini, Makassar Studies seharusnya merupakan cara pandang Makassar dalam melihat kondisi modernitas yang melingkupinya.

Ketiga, Makassar Studies sebagai cara pandang atas realitas berbicara tentang bagaimana Makassar hari ini. Realitas Makassar saat ini tentunya tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi antara tradisi lokal Makassar dengan kondisi modernitas yang melingkupinya. Banyak tradisi yang saat ini berkembang di Makassar merupakan tradisi lokal yang telah terhibridasi dengan kondisi modernitas yang melingkupinya. Misalnya saja bahasa gaul anak muda Makassar. Bahasa gaul yang berkembang di Makassar merupakan perpaduan antara logat Makassar yang okkots dengan gaya bahasa anak-anak modern. Ketiga cara pandang inilah yang menjadi objek kajian dari Makassar Studies.

Olehnya itu, untuk menerapkan wacana Makassar studies dibutuhkan pijakan teoritik atau dasar-dasar epistemologi yang betul-betul mengakar pada nalar Makassar. Dasar-dasar epistemologi ini perlu ada, karena kalau tidak, maka yang terjadi adalah; pertama, Makassar studies hanya meminjam analisis cultural studies. Bila ini terjadi, maka Makassar studies gagal menjalankan fungsinya, Makassar studies tidak menjadi sebagai cara pandang Makassar atas diri (the self), atas yang lain (the other), dan atas realitas yang melingkupinya. Dalam hal ini, berarti bahwa cultural studies-lah yang bekerja untuk menganalisis realitas Makassar. Implikasinya bahwa, Makassar studies menjadi ‘hamba’ dari teori cultural studies.

Kedua, karena kebutuhannya akan perangkat analisa cultural studies, maka para penggiat Makassar studies harus menguasai teori-teori dasarnya. Hal ini justru akan menjebak Makassar pada cultural studies yang sangat teoritik. Hal ini diakibatkan karena Makassar studies hanya bermain didalam sangkar analisis cultural studies dan tidak mampu keluar dan menemukan identitasnya sendiri.

Ketiga, ketika bangunan Makassar studies tergantung pada analisis cultural studies, maka Makassar studies gagal menjadi ruang untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu, justru Makassar malah menjadi objek kajian semata. Pada kondisi seperti ini Makassar tidaklah menjadi subjek atas dirinya sendiri, karena ia telah dijelaskan, dimaknai, dan didefinisikan oleh sesuatu diluar dirinya, yaitu cultural studies, dimana seharusnya Makassar studies-lah yang dapat menempati posisi tersebut. Makassar studies-lah yang seharusnya menempatkan diri sebagai penjelas, pemakna, dan pendefinisi atas diri Makassar, bukan cultural studies.

Apabila Makassar studies merupakan ruang bagi Makassar untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu tentang Makassar, maka Makassar studies merupakan wacana yang menarik dan perlu diapresiasi secara luas. Tapi bila wacana Makassar studies tidak mampu meletakkan dasar epistemologisnya sendiri, maka bisa saja wacana ini terjebak pada orientalisme gaya baru.Untuk menghindari hal tersebut, kita harus berani melakukan pemotongan genealogi teoritik--meskipun hal ini terkesan sangat sulit--terhadap cultural studies dan mendorong Makassar studies tidak hanya sebagai varian cultural studies spesial Kota Makassar dari pinggiran. Kita merindukan Makassar studies menjadi sebuah analisa yang memiliki keberpihakan penuh terhadap cara pandang orang Makassar dalam memproduksi penjelasan, makna dan definisi tentang berbagai hal dengan sudut pandangnya sendiri. Semoga.....

08 Januari 2008

Simbolitas Tubuh dan Ekspresi Seksualitas

Ketika tubuh hadir dihadapan khalayak, maka aspek seksualitas akan ikut menari didalamnya. Seksualitas tidak akan membiarkan tubuh berbicara sendiri, ia (seksualitas) senantiasa ambil bagian dalam setiap geliat tubuh. Tubuh telah menjadi penanda penting bagi seksualitas dalam mengekspresikan dirinya.

Tubuh dan seksualitas berada dalam tarik menarik yang kompleks. Ia dibahas dan diterapkan dengan ambiguitas yang rumit pula. Di satu sisi, ia dipandang dengan kacamata tata nilai, norma, dan simbol-simbol tertentu yang abstrak dan penuh dengan sekat-sekat kebenaran, sehingga terciptalah dikotomi hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, halal-haram, dan lain sebagainya. Disisi lain, tubuh dan seksualitas mewujud dalam bentuk-bentuk yang telanjang dan sensasional sehingga dapat dinikmati dengan begitu bebas dan terbuka di setiap sudut kehidupan masyarakat.

Tubuh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, namun telah melekat atau dilekati oleh berbagai identitas tertentu. Tubuh bukanlah sebuah satuan tulang dan daging belaka, namun telah menjelma jejaring yang menyimpan berbagai simbol dan makna.

Tubuh sebagai penjara jiwa
Diskursus tentang tubuh sebagai penjara jiwa telah lama meresahkan para pemikir-pemikir Yunani kuno. Meraka mencoba mengungkap makna tubuh, dimana pada masa itu ada sebuah aliran yang didirikan oleh Orpheus yang mengatakan bahwa “tubuh adalah kuburan bagi jiwa” (the body is the tomb of the soul). Bahkan anggapan tersebut mengilhami filsafat para filosof seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Namun, pandangan para pemikir Yunani kuno tersebut berbeda dengan para pemikir Romawi yang sangat percaya dengan astrologi. Mereka tidak menganggap tubuh adalah sesuatu yang negatif, namun memandang tubuh dan jiwa sebagai bagian dari kosmis.

Pada masa renaisans, pemahaman tentang tubuh mulai bergeser. Tubuh dianggap sebagai sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler. Pada masa pramodern, tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Dan pada konteks kekinian, perbincangan mengenai tubuh masih tetap hangat untuk di diskusikan. Dualisme antara jiwa dan tubuh masih menunjukkan keangkuhannya, menyeret kita pada pemahaman yang lebih kompleks, sehingga semakin sulit untuk dipahami dan dimengerti. Saat ini tubuh tidak lagi berbicara tentang fisik, namun tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.[1]

Mary Douglas dalam bukunya Purity and Danger (1996) mengatakan, bahwa sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu. Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Tidak ketinggalan, Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga, yaitu: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam, masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.[2]

Untuk memahami tentang jiwa lebih jauh, psikoanalisis[3] Sigmund Freud bisa kita gunakan sebagai pisau analisis untuk membedahnya. Dengan demikian kita akan mampu menemukan relevansi antara tubuh dan jiwa (seksualitas) dan juga menemukan makna tubuh dalam konteks psikoanalisis.

Perkembangan tubuh; Perkembangan seksualitas
Secara sederhana, tubuh mengalami beberapa tahap pertumbuhan, mulai dari bayi, anak-anak, hingga dewasa. Sejalan dengan perkembangan tubuh, seksualitas pun mengalami masa pertumbuhan atau pendewasaan. Selama ini mungkin kita memahami bahwa perkembangan seksualitas dimulai pada masa puber, namun pada dasarnya perkembangan seksualitas sudah dimulai sejak kanak-kanak (bayi).

Seksualitas masa bayi, telah ada jauh sebelum organ-organ kelamin mendominasi kehidupan seksual; atau dengan kata lain, seksualitas masa bayi adalah satu elemen penting dari “tatanan pragenital” dari libido. Seksualitas seperti ini juga melibatkan bagian-bagian tubuh, atau disebut libido sebagai “zona erotogenik” yang bisa menjadi wadah bagi eksitasi-eksitasi yang menyenangkan. Zona-zona seperti ini bisa berasa di bagian-bagian kulit tertentu, atau pada selaput lendir yang mampu memberikan sumber kepuasan atau kesenangan. Seorang anak melewati tahap-tahap yang saling meliputi satu sama lain, dimana secara berurutan suatu zona erotogenik pertama mendominasi dan kemudian digantikan oleh zona lainnya[4]. Fase-fase seksualitas yang dilewati pada masa kanak-kanak adalah fase oral[5], fase anal[6], dan fase phallic[7].

Setelah fase oral, anal dan phallic, ada sebuah fase berikutnya yang juga merupakan bagian dari tahap perkembangan seksualitas, yaitu kompleks aedipus atau aedipus complex, dan kemudian fase laten. Sesudah berakhirnya masa laten, kehidupan seksual maju sekali lagi bersama dengan masa remaja (puber), atau dapat kita katakan kehidupan seksual mengalami pemekaran yang kedua. Disini kita menjumpai fakta bahwa permulaan kehidupan seksual itu dwifase, bahwa kehidupan seksual terjadi dalam dua gelombang—sesuatu yang tidak diketahui, kecuali pada manusia, dan jelas mempunyai pengaruh yang penting pada hominisasi[8].

Dari keterangan diatas kita dapat memahami bahwa tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang menyatu, namun kita juga perlu curiga atas pandangan tersebut karena kita belum bisa mengungkap dengan gamblang, apakah perkembangan tubuh yang mempengaruhi perkembangan seksualitas ataukah sebaliknya, perkembangan seksualitas yang sebenarnya mempengaruhi perkembangan tubuh.

Ekspresi tubuh; Ekspresi seksualitas
Ungkapan Mary Douglas yang mengatakan bahwa sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu, perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mengantarkan kita pada jawaban, apakah seksualitas adalah ekspresi tubuh ataukah tubuh yang merupakan ekspresi dari seksualitas? Untuk menjawabnya, mungkin kita perlu mengkaji terlebih dahulu fenomena yang ada disekeliling kita.

Sebagai contoh, saat kita melihat sosok dari lawan jenis (entah itu laki-laki yang memandang sosok perempuan, ataupun perempuan yang memandang sosok laki-laki --lebih-lebih pada sebuah “ketelanjangan”), dalam kondisi seperti itu, aspek apa sebenarnya yang bermain? Apakah ia lahir dari aspek fisik ataukah ini berasal dari aspek mental yang bersembunyi di dalam tubuh dan meronta ingin menampakkan wajahnya!
F. Budi Hardiman dalam salahsatu esainya pernah mengajukan sebuah pertanyaan, apakah sebenarnya yang dilihat oleh seorang pecinta pada tubuh kekasihnya saat mereka bercinta? Dia menjelaskan bahwa

Pandangan atas tubuh yang dihasrati, entah berselubung ataupun telanjang, adalah suatu persepsi akan bentuk. Tubuh itu adalah bentuk yang hadir, seperti setiap bentuk lainnya di dunia ini. Namun, sesungguhnya bukanlah bentuk yang ia lihat, melainkan suatu kehadiran, kehadiran dari seorang manusia dari jenis yang lain yang membuatnya merasa menyeluruh. Sebuah pelukan penuh hasrat pada tubuh itu segera mengubah kehadiran menjadi seonggok materi yang memadati ruang yang terbentuk dalam jangkauan lengan.

Perlahan persepsi atas materi berubah menjadi pelukan kehadiran, manakala disadari bahwa setiap fragmen ruang tubuh itu dari mata, bibir, payudara, sampai pada vulvanya mengacu pada suatu tubuh sebagai suatu keutuhan yang menyeluruh dan keseluruhan yang utuh. Tubuh pun berhenti sebagai bentuk. Batas-batas geometrisnya raib ketika tubuh itu tersebar oleh isapan hasrat keduanya. Dalam denyut gairah yang memuncak, tubuh yang satu lumat ke dalam tubuh yang lain dan memulihkan diri menjadi samudra sensasi. Sebuah pandangan erotis adalah suatu hasrat pengutuhan dengan siapa yang dipandangnya.

Anggapan bahwa erotik itu identik dengan seks sangatlah meragukan. Tentang erotik Octavio Paz menulis begini: "Manusia melihat dirinya dalam seksualitas. Erotik adalah pantulan penglihatan manusia dalam cermin alam…. Erotik adalah tiruan belaka atas seksualitas: Ia adalah metafora seksualitas…. Yang erotis itu imajiner: Percikan imajinasi di hadapan dunia luar. Apa yang ditangkap oleh erotik adalah manusia sendiri, dalam bidang citranya, dalam bidang kediriannya...

Manusia makan tidak dengan mencaplok, tetapi dengan menyantap, dan santapan berlangsung lewat lika-liku seremonial dan ritual yang-entah sederhana ataupun rumit-memuaskan bukan hanya rasa lapar, melainkan juga kebutuhan untuk bersosialisasi dan untuk mewujudkan suatu nilai. Demikian juga erotik adalah sebuah upacara-bukan upacara publik, melainkan upacara interpersonal dalam ruang intim. Paz menyebutnya "suatu seremoni yang berlangsung di belakang punggung masyarakat". Erotik juga tidak sama dengan cinta yang cakupannya melampaui erotik, namun leluhur tertua dari keduanya adalah seks.

Ciri "lebih" yang bersemayam dalam erotik itulah yang memanusiawikan seksualitas. Dan karena manusia itu naluriah sekaligus melampaui naluri, erotik juga bukan sekadar pemuasan hasrat seksual. Penangguhan hasrat ragawi yang meronta-ronta untuk dilepaskan kerap memberi percikan erotis pada tubuh yang memikul beban gairahnya sendiri. Karena itu, erotik juga sebuah permainan gairah dalam rumah imajinasi. Penangguhan pelepasan hasrat dan pengabulannya, pencapaian kepuasan dan munculnya gairah baru-lingkaran hasrat akan tubuh yang ingin dinikmatinya itu tak habis-habisnya menghasilkan dahaga baru.

Rasa kekurangan ini dipicu oleh imajinasi yang silih berganti masuk melalui tatapan erotis pada "yang lebih". Dia-tubuh sang kekasih dan tatapan matanya ke dalam jendela jiwa sang penatap-adalah lebih daripada onggokan materi. Erotik adalah lebih daripada sekadar interseksi hormonal. Ia adalah interseksi personal dalam ruang intim yang tercipta oleh pengalaman kebertubuhan. Interseksi personal itu dalam erotik tidak "menghabisi" keduanya, sehingga "yang lebih" terus saja muncul menimbulkan dahaga.[9]

Dari penjelasan diatas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan awal bahwa ternyata, tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang utuh, ia tidak terpisahkan dan tidak dapat dipisahkan. Tubuh menyimpan pusaran erotis yang mampu memicu gelora hasrat. Tubuh dapat mengenal dirinya dalam seksualitas, dan seksualitas adalah sesuatu yang manusiawi.

Didalam tubuh tersembunyi sebuah kekuatan (hasrat seksual) yang penuh misteri dan sulit untuk diketahui besarnya kekuatan tersebut secara matematis, karena kekuatan itu hanya dapat dirasakan, ia adalah pengalaman pribadi seseorang. Ekspresi tubuh adalah ekspresi seksualitas, tubuh adalah ruang bagi seksualitas untuk mengekspresikan dirinya.

Namun, dari manakah datangnya hasrat seksual? Apakah ia adalah fitrah dan anugerah yang diberikan Tuhan pada ciptaannya yang bernama manusia? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Jawaban bahwa hasrat adalah fitrah dan anugerah yang diberikan Tuhan pada manusia adalah jawaban yang hampa bagi sekelompok orang yang suka “bertanya” dan tidak mudah puas.

Pada diri manusia ada aspek mental dari energi seksual yang mendasari berbagai perubahan dalam dorongan seksual, yang kita kenal dengan istilah libido[10]. Libido dalam pandangan Freud juga berkaitan dengan sifat cinta dan keinginan, atau nafsu dan hasrat seksual, dan disini, Freud beralih dari pertimbangan-pertimbangan ilmiah murni menuju bidang emosi manusia yang cukup sulit. Seperti yang ditulisnya,

Libido adalah ekspresi yang diambil dari teori tentang emosi. Kami menamakannya sebagai energi, yang dianggap sebagai suatu besaran kuantitatif (meskipun saat ini belum bisa diukur), dari dorongan-dorongan yang berkaitan dengan segala sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan menggunakan kata “cinta”.[11]

Sederhananya, kita berbicara tentang “rasa lapar” terhadap dorongan-dorongan untuk memperoleh makanan, demikian juga dengan dorongan-dorongan seksual, kita bisa berbicara tentang libido atau “kelaparan seksual”.
Hasrat seksual sangat dipengaruhi oleh permainan persepsi kita akan bentuk (tubuh). Setiap individu memiliki persepsi akan bentuk (tubuh) yang berbeda-berbeda, hal ini sangat dipengaruhi oleh konteks ruang-waktu yang melingkupi dan mengkonstruk pikirannya. Persepsi akan tubuh, bagi orang-orang metropolis (modern) tentu berbeda dengan persepsi orang-orang pedalaman[12] (orang-orang primitif—dalam definisi orang modern) yang belum dipengaruhi oleh efek modernis.

Saya belum mengetahui banyak seperti apa sebenarnya persepsi orang-orang pedalaman akan tubuh. Bagaimana persepsi mereka tentang cantik atau gagah? Apakah hasrat seksual mereka akan bergejolak saat mereka melihat tubuh yang “terbuka”? Bagaimana reaksi mereka saat melihat Inul yang sedang berjoget atau diperlihatkan foto-foto artis yang “telanjang”? Entahlah! Namun sejauh pengetahuan saya, walaupun orang-orang pedalaman tidak menggunakan baju atau sesuatu yang menutupi seluruh tubuhnya, namun mereka masih menutupi bagian-bagian tubuh tertentu. Bagian-bagian tubuh tertentu yang ditutupi itulah yang saya curigai mampu mempengaruhi hasrat seksual mereka.

Bagi orang-orang metropolis (modern), persepsi mereka akan tubuh adalah seksual. Bagian-bagian tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung jari bisa mempengaruhi hasrat seksual seseorang. Ditambah lagi dengan pesatnya teknologi informasi, membuat persepsi kita akan tubuh yang pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya personal menjadi sesuatu yang massal. Teknologi informasi dengan seketika mampu memainkan imajinasi dan menyatukan definisi cantik atau gagah.

Setelah bosan—dengan tidak mengabaikan adanya sebuah kuasa yang bermain dibelakangnya—tenologi informasi menjadi alat untuk menggeser dan mengganti definisi cantik atau gagah. Hal inilah yang berpengaruh cukup besar atas bergesernya persepsi kita akan tubuh (walaupun masih ada sebagian orang yang tidak terpengaruh—atau mungkin pura-pura tidak terpengaruh—atas persepsi orang banyak tentang tubuh, dia memiliki persepsi tersendiri akan tubuh yang berbeda dengan orang kebanyakan). Namun yang pasti, apapun persepsi kita akan tubuh, selalu saja tubuh (seluruh atau beberapa bagian tubuh) menjadi simbol seksualitas.

Seksualitas, Ke-mati-an Tabu dan Moralitas
Dalam hubungannya dengan alam, masyarakat dan kebudayaan, dan juga hubungannya sebagai kontrol sosial dan politik, seksualitas ditempatkan pada posisi yang cukup penting. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat dan merasakan adanya berbagai larangan yang membatasi ruang gerak tubuh. Pada dasarnya bukan ruang gerak tubuh yang dibatasi namun ekspresi seksualitas lah yang dibatasi. Mengapa ekspresi seksualitas perlu dibatasi? Hal ini sangat dipengaruhi oleh sebuah sistem purba namun masih disakralkan oleh beberapa suku atau bangsa hingga saat ini, sistem itu kita kenal dengan istilah tabu.

Tabu adalah larangan yang sangat kuno yang pada suatu ketika diberlakukan pada suatu generasi masyarakat primitif dan larangan ini tanpa asal, mungkin generasi yang sebelumnya yang memberlakukan larangan ini atas mereka. Larangan ini berkenaan dengan tindakan-tindakan yang mengandung keinginan yang kuat. Larangan ini terus hidup dan mempertahankan dirinya dari generasi ke generasi, mungkin ia akibat tradisi yang disusun oleh satu penguasa paternal dan sosial. Tetapi, pada generasi berikutnya, mungkin larangan ini telah “terorganisir” mengkaji suatu kualitas psikis yang diwariskan.

Apakah memang ada “gagasan-gagasan bawaan” atau apakah fiksasi tabu ini terjadi dengan sendirinya atau dengan jalan pendidikan, dalam kasus ini tidak ada satu orang pun yang tahu. Meskipun demikian, kenyataan bahwa tabu itu terus hidup menunjukkan satu hal, yaitu bahwa kenikmatan asali untuk melakukan hal-hal yang terlarang itu masih terus berlangsung dikalangan bangsa-bangsa yang menganut tabu. Jadi, mereka memiliki sikap ambivalen terhadap larangan tabu mereka sendiri; di alam ketaksadaran, mereka sangat suka melanggarnya, tetapi mereka juga takut melakukannya; mereka takut karena mereka ingin melanggarnya, dan rasa takut itu lebih kuat dari pada kenikmatan.

Tetapi, dalam diri setiap orang di bangsa itu, keinginan terhadap hal yang dilarang itu bersifat taksadar, seperti dalam diri seorang neurotik. Larangan tabu yang paling tua dan penting adalah dua hukum dasar totemisme: yaitu jangan membunuh binatang totem, dan hindari hubungan badan dengan lawan jenis dari kelompok totem yang lain[13].

Indikasi terhadap dorongan untuk melanggar tabu atau melakukan inses, mulai dapat kita rasakan dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Kita sering mendengar ada anak yang memperkosa ibunya dan ada ayah yang memperkosa anak gadisnya, itu baru yang terungkap oleh media, bagaimana dengan yang tidak! Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa dibalik adanya “ketertutupan” (larangan yang kuat), ada sebuah dorongan untuk “memberontak” (melanggar larangan). Semakin kuat “ketertutupan” maka semakin kuat pula potensi “pemberontakan”. Apakah ini juga mengindikasikan bahwa tabu telah menemui ajalnya, tabu telah mati.
Jika tabu telah mati, bagaimana nasip moralitas! Apakah moralitas akan mati seiring dengan kematian tabu? Jawabannya TIDAK. Moralitas atau etika lahir dari refleksi tentang seksualitas, keinginan serta kenikmatan. Dalam tindakan seksual seseorang manusia menyadari diri sebagai makhluk seksual. Disana dia juga menyadari relasi dengan orang lain. Lebih dari itu dalam setiap praktik seksual seseorang manusia sebenarnya membentuk suatu sikap seksual, yaitu kesadaran akan kebebasan, tanggungjawab dan pilihan moral, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Seks adalah satu soal privat dan dapat menyadarkan setiap individu akan siapakah dia, apa yang dia buat dan sejauh mana ia memiliki keinginan dan nafsu. Dalam kesadaran ini kita tidak pernah akan menipu diri kita dalam pelbagai praktik seksual kita.

Dalam pandangan Yunani Klasik, seks bukannya sesuatu yang buruk sebagaimana paham agama kristen pada masa lalu. Seks adalah sesuatu yang natural, baik dan mendatangkan kenikmatan (pleasure) dan ini sangat perlu dalam praktik diri. Bagi mereka praktik seksual tidak ditempatkan dalam konteks universal. Setiap individu harus menentukan pola objek dan praktik seksual mereka sendiri.

Dalam kebudayaan ini kenikmatan seksual dan aktivitas seksual menjadi perhatian moral lebih dari pelbagai isu lain karena seks adalah objek dari pelbagai larangan dan pelanggaran terhadapnya bisa sangat berbahaya. Jelas seksualitas penuh dengan nuansa etis-moral. Immoralitas dalam seks tampak bukan dalam seks itu sendiri, melainkan dalam pasivitas dan ekses dalam praktik-praktiknya[14].

Seks sebagai urusan kelamin tak pernah kehabisan atau kehilangan daya sensasionalnya bagi siapa pun dan di zaman apa pun. Selalu ada saja perkembangan-perkembangan baru dalam fenomena seks sebuah masyarakat, meski sexual act yang mendasar sebenarnya hanya begitu-begitu saja. Tapi memang manusia seluruhnya adalah seksual. Seluruh tingkah lakunya selalu diresapi oleh identitas seksnya, yakni gradasi kelelakian (jika ia lelaki) atau keperempuannya (jika ia perempuan).

Implikasinya kemudian adalah terjalinnya korelasi secara otomatis antara seksualitas dengan serangkaian konteks sosial yang melingkupimya. Seks pun lalu jadi sebuah fenomena yang multidimensional, dan hal inilah yang membuat seks menjadi potensial untuk “bercerita” dan mengungkap tentang sosok manusia. Karenanya, mempelajari fenomena seks adalah mempelajari fenomena manusia seutuhnya[15].

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa persoalan tentang praktik seksual tidak bisa ditempatkan dalam konteks universal, ada sebuah tradisi dan kebudayaan dari masing-masing lokalitas tertentu yang melingkupi dimana tubuh (manusia) memijakkan kakinya. Sehingga, setiap individu harus menentukan pola objek dan praktik seksual mereka sendiri sesuai dengan tradisi dan kebudayaan yang dianutnya.

Semoga kita senantiasa mampu menjaga moralitas dengan selalu melakukan reflesi diri, sehingga kita selalu sadar bahwa kita adalah makhluk seksual yang mau tidak mau juga harus membangun relasi dengan orang lain. Relasi-relasi inilah yang kita harapkan akan membangun moralitas. Sebuah moralitas yang menjaga keseimbangan antara alam, masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, tubuh dan seksualitas tidak menjadi momok yang menakutkan, namun dapat dijadikan sebagai kontrol sosial-politik [@]


Catatan Kaki
---------------

  1. Lazuardi. Luna, Studi Tubuh, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
  2. Lazuardi. Luna, ibid, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
  3. Freud menciptakan istilah psikoanalisis pada tahun 1896 sesudah perjuangan lama menggarap gagasan-gagasannya tentang sebab musabab neurosis dan gangguan-gangguan mental lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa psikoanalisis secara kasar terdiri dari tiga bidang, yaitu : a.) Suatu cara terapi yang bertujuan untuk meringankan beban batin orang, berdasarkan pada teori-teori tentang alam tak sadar dan penafsirannya; b.) Suatu teori menyeluruh tentang bagaimana kepribadian manusia berkembang dan berfungsi; c.) Seperangkat teori tentang bagaimana manusia dan masyarakat berfungsi, atas dasar dua bidang di atas untuk memahami peradaban. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  4. Kennedy, Roger. Libido; Seri Gagasan Psikoanalisis. Hal. 44. Penerbit: Pohon Sukma, Cetakan I, April 2003. Yogyakarta.
  5. Dalam perkembangan ini fase awal berpusat di sekitar mulut. Kita perlu melihat bagaimana daerah erotogenik ini terbentuk. Pertama-tama,daerah ini berkaitan erat dengan fungsi somatis yang vital, yaitu menyusui. Kemudian timbul perasaan senang dengan daerah itu. Selanjutnya, muncul kebutuhan untuk mengulangi perasaan senang atau keinginan itu. Menyusu buah dada ibu merupakan titik awal seluruh kehidupan seksual. Buah dada adalah objek cinta yang pertama. Kesenangan awal itu mempunyai bermacam-macam bentuk. Mengisap ibu jari. Menurut Freud, adalah contoh kegiatan seksual kanak-kanak yang paling sederhana dan dini. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  6. Kesenangan anal yang paling sederhana adalah mengosongkan isi perut atau “membuat angka 2”, kata para ilmuan. Anak dapat memperoleh kepuasan dengan melakukan perbuatan itu bagi orang tuanya, dengan memberi mereka suatu hadiah atau menahannya jika jika tidak mau memberikan hadiah itu. Tindakan menahan ini dapat menjadi fiksasi, suatu karakter bercorak anal, dan hubungan antara uang dan tinja telah kerap kali dilihat. Menahan hadiah atau memberikannya menjadi bercampur dengan perasaan-perasaan mengenai ibu dan bapak. Dan jika seluruh urusan tidak ditangani dengan semmestinya, orang dapat terhenti pada perilaku anal ini (ungkapan Inggris tight-arsed adalah tepat dari segi psikoanalisis untuk melukiskan orang yamng kikir). Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.Ini adalah fase ketika anak menjadi sadar akan daerah genitalnya (alat kelaminnya) setelah beralih dari fase oral dan fase anal. Freud menyatakan bahwa anak hanya mengetahui satu organ genital, yaitu phallus (zakar), dan dengan demikian anak laki-laki dan anak perempuan berlawanan dalam arti ber-phallus atau terkebiri. Anak laki-laki dan anak perempuan kerap kali tampak menyujai fase phallic ini. Mereka bermain secara krestif dengan diri mereka sendiri dan saling memandang. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  7. Baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  8. Hardiman, Budi, F. Dahaga akan yang lebih. Kompas, 2 Juni 2004.
  9. Libido dalam teori Freud tentang dorongan-dorongan seksual merupakan suatu konsep “kuantitatif”, yang mengacu pada jumlah hipotetis dari energi seksual yang memotifasi dorongan-dorongan seksual, sekaligus suatu pandangan “kualitatif”, yang berarti bahwa libido secara khusus berkaitan dengan energi mental dalam artian umum. Libido merupakan sebuah konsep ilmiah yang berada di “perbatasan” antara bidang mental dan somatis; ia adalah suatu kesatuan psikis, namun mengacu pada fenomena ragawi. Lebih jelasnya, baca: Kennedy, Roger. Libido; Seri Gagasan Psikoanalisis. Penerbit: Pohon Sukma, Cetakan I, April 2003. Yogyakarta.
  10. Freud, S., “Group Psychologhy and the Analysis of the Ego” (1921), SE, vol. XVIII, hkm. 90.
  11. Saya munggunakan kata pedalaman untuk mengganti kata primitif.
  12. Freud, Sigmund. Totem dan Tabu. Hal 53. penerbit Jendela, cetakan kedua, Yogyakarta, 2002.
  13. Kebung, Konred. Kembalinya Moral Melalui Seks. Basis, hal 39, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
  14. Gunawan, Rudi dan Joko Suyono, Seno. Wild Realiti; Refleksi Kelamin dan Sejarah Pornografi. Hal. 3. Penerbit: Gagas Media, 2003, Jakarta.

07 Januari 2008

Mandegnya Gerakan Ke-[Mahasiswa]-an

(Upaya Mengembangkan Gerakan Mahasiswa Berbasis Keilmuan)


Muhammad Hatta (1979) pernah mengatakan bahwa kaum intelegensia Indonesia mempunyai tanggungjawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam pimpinan Negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggungjawab itu. Sekalipun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.

Olehnya itu, mahasiswa memiliki tanggungjawab moral untuk selalu memberikan peringatan kepada para pemegang kekuasaan apabila melakukan menyimpangan dan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Mahasiswa telah mengukir sejarah panjang dalam menjalankan tanggungjawab moralnya sebagai kaum intelegensia.

Namun dalam konteks kekinian, gerakan kemahasiswaan mengalami sebuah kegamangan dalam melakukan misi-misi pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan (atau lebih tepatnya kaum yang dilemahkan dan dipinggirkan). Gerakan kemahasiswaan seakan dikebiri dan ditaklukkan oleh berbagai bentuk kebijakan—baik kebijakan negara maupun kebijakan birokrasi kampus--yang sengaja dikeluarkan untuk melemahkan gerakan kemahasiswaan. Sebagai contoh, diterapkannya konsep BHP di beberapa Perguruan Tinggi Negeri.

Kita perlu curiga bahwa ada sebuah kekuatan besar yang bermain dibelakang semua kebijakan-kebijakan tersebut dimana kebijakan-kebijakan tersebut bermuara pada sebuah tujuan untuk melemahkan gerakan mahasiswa. Basis gerakan mahasiswa ada di kampus, olehnya itu untuk melemahkan gerakan kemahasiswaan maka yang dilakukan oleh para penguasa adalah mengeluarkan berbagai kebijakan di tingkat Perguruan Tinggi. Sedikit saja mahasiswa melakukan perlawanan terhadap kebijakan borokrasi kampus, maka siap-siap saja mendapatkan sangsi (baik itu berupa surat scorsing atau pun surat DO). Sungguh menyedihkan dan menyakitkan!

Akhir Sejarah Gerakan Kemahasiswaan
Salah satu kekuatan kapitalisme sehingga pada detik ini kekuatannya tidak mampu diruntuhkan adalah adanya kemampuan reformasi diri yang dimiliki oleh kapitalisme, sehingga segala bentuk perlawanan yang menyerangnya selalu mampu dimodifikasi dan diinkorporasi.

Fenomena seperti ini pula yang di alami oleh gerakan kemahasiswaan. Segala bentuk perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa selalu dapat dipatahkan dengan berbagai cara. Kita harus akui bahwa media informasi saat ini dikuasai oleh penguasa, sehingga segala bentuk perlawanan opini yang dilakukan oleh mahasiswa selalu dibelokkan, yang lebih tampak pada aksi-aksi mahasiswa adalah kekerasan mahasiswa, bukan nilai atau pendidikan politiknya. Akibatnya, rakyat justru bersikap antipati terhadap gerakan kemahasiswaan.

Fenomena di dalam kampus misalnya dengan diterapkannya NKK-BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus – Badan Koordinasi Kampus) dan saat ini mulai diterapkan BHP (Badan Hukum Pendidikan). Konsep NKK-BKK saja sudah melemahkan gerakan kemahasiswaan dengan adanya sistem DO, apalagi dengan adanya privatisasi kampus (Konsep BHP) yang ujung-ujungnya akan menyeret kampus-kampus negeri menjadi kampus-kampus swasta. Inilah yang kita namakan swastanisasi kampus negeri. Akibatnya, hal ini akan berimbas pada mahasiswa, misalnya saja semakin tingginya biaya perkuliahan sehingga akan menyeret paradigma mahasiswa menjadi akademic ansic. Mahasiswa akan kehilangan daya kritisnya karena waktu mereka dihabiskan hanya untuk memikirkan bagaimana caranya cepat selesai kuliah dan tidak berpikir lagi untuk berorganisasi dan menambah kapasistas intelektualnya, sehingga tanggungjawab moral intelengensia menjadi terabaikan.

Apabila gerakan kemahasiswaan tidak mampu mengatasi problematika diatas, maka tamatlah riwayat gerakan kemahasiswaan. Inilah akhir sejarah panjang gerakan kemahasiswaan. Namun bila kita masih ingin mengukir sejarah kemahasiswaan, maka teruslah melakukan perubahan dan perlawanan.

Basis Keilmuan; Sebuah Tawaran Solusi
Gerakan mahasiswa berbasis keilmuan tetap ditujukan untuk membangun sebuah komunitas masyarakat pro-perubahan yang akan mengusung revolusi sistemik demi terciptanya masyarakat yang beradab. Gerakan ini menjadikan intellectuality sebagai instrument perjuangannya.

Olehnya itu, untuk mewujudkan intellectuality agar dapat bermanfaat bagi gerakan, maka peranan dan fungsi-fungsi gerakan intelektual harus dikembangkan dari paradigma epistemologis menjadi konsep yang berbasis gerakan keilmuan. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan dekonstruksi sistem pemikiran sekuler yang berkembang diperguruan tinggi sekaligus melakukan rekonstruksi gerakan ke-arah pemikiran-pemikiran keilmuan (Cahyo Pamungkas, 2005).

Secara sederhana, rekonstruksi gerakan dilakukan dengan menggeser paradigma gerakan kemahasiswaan. Pergeseran paradigma gerakan ini meliputi beberapa hal. Pertama, Paradigma Oposisi Total harus digeser menjadi Kritis-Konstruktif. Dalam mengartikulasikan kepentingan eksternal lembaga kemahasiswaan ditempuh melalui jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga politik resmi seperti birokrasi, legislatif dan lain sebagainya.

Proses demokrasi yang berjalan memungkinkan terjadinya dialog antara gerakan rakyat dengan aktor-aktor institusi Negara yang pro-reformasi. Hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan kooptasi Negara tetapi menjadi penekan kebijakan agar Negara mampu mengakomodasi kepentingan rakyat (Cahyo Pamungkas, 2005).

Ini berarti bahwa aksi massa hanya akan dilakukan untuk isu-isu yang betul-betul sangat penting. Olehnya itu mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan. Pada wilayah ini, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa.

Kedua, Gerakan Intelektual mahasiswa di wilayah Epistemologis digeser ke wilayah Akademis. Gerakan intelektual diwilayah Epistemologis harus dikembangkan sampai kewilayah Akademis, sehingga mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis. Ini berarti bahwa ide dan gagasan intelektual mahasiswa bersentuhan langsung dengan masyarakat akademis (kampus). Untuk itu perlu dibangun Intelektual-Akademisi yang bervisi sosial profetis. Pada wilayah ini mahasiswa harus cerdas secara akademik, bervisi profetis, serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan

Ketiga, Ketergantungan Finansial digeser menjadi Mandiri dan Independen. Pada konteks ini, lembaga kemahasiswaan membangun kemandirian dalam hal perumusan ide dan gagasan (independensi secara sosial politik) dan kemandirian keuangan (independensi secara sosial ekonomi). Ini berarti lembaga kemahasiswaan harus bisa mebangun kerjasama dengan lembaga donasi yang tidak mengikat (kebijakan fund-raising). Olehnya itu mahasiswa ditintut memiliki Jiwa Enterpreneurship, pada wilayah ini mahasiswa memiliki kemampuan ‘kewirausahaan’ dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya

Setiap fase perjuangan mahasiswa memiliki konteks yang berbeda dimana mereka menghadapi tantangan yang berbeda pula. Pada hari ini kita menghadapi sebuah kondisi yang berbeda dengan gerakan kemahasiswaan pada tahun-tahun sebelumnya. Olehnya kita harus mampu mengatasi segala tantangan gerakan pada hari ini dan esok, dengan tetap menjadikan hari kemarin sebagai pelajaran. Kita juga harus berani melakukan sebuah perubahan atau pergeseran paradigma gerakan, jika memang kita telah merasakan bahwa paradigma gerakan kemahasiswaan selama ini tidak lagi mampu menjawab tantangan hari ini.

Tentunya kita mengharapkan wibawa dan citra gerakan kemahasiswaan akan tetap terjaga dimata rakyat, dan 10 sampai 20 tahun kedepan kita mengharapkan adanya sebuah perubahan yang mendasar, sebuah perubahan sistemik di Negara kita.
Semoga perubahan-perubahan pola gerakan yang kita lakukan mampu menjawab mandegnya gerakan kemahasiswaan hari ini. [Hzr]

06 Januari 2008

Menjadi Sukses: Kebutuhan atau Pemenuhan Hasrat

Kebanyakan orang tua di “kampung” (tidak terlepas para orang tua di perkotaan), menganggap bahwa orang dikatakan sukses apabila mereka, keluarga mereka dan anak-anak mereka memiliki uang yang banyak, punya pekerjaan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), jadi Polisi atau jadi Tentara (ABRI). Status sosial mereka akan melambung tinggi apabila mereka, keluarga mereka dan anak-anak mereka memperoleh gelar-gelar PNS, Polisi, Tentara, dan lain sebagainya.

Sesederhana itukah menilai sebuah kesuksesan! Betapa naifnya dan betapa malanglah nasibku ini apabila kesuksesan hanya dinilai sebagai uang, PNS, Polisi atau tentara (Karena saya bukanlah orang yang ingin menjadi PNS, apalagi menjadi seorang Polisi atau Tentara). Dimanakah kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan, dan ketenangan hidup harus ditempatkan, karena kebanyakan orang tua di “kampung” menganggap bahwa kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan dan ketenangan hidup itu bisa diperoleh dengan setumpuk uang, dengan status sosial sebagai PNS, Polisi atau Tentara.

Orang tua tidak akan segan-segan untuk mencari pinjaman (ngutang) kesana-kemari agar keluarga atau anak-anak mereka bisa lolos jadi PNS, jadi Polisi dan jadi Tentara. Dan saya rasa hal ini sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, orang-orang yang menjadi PNS, Polisi atau Tentara adalah orang-orang yang memburu uang (kekayaan), karena memang itulah tujuan mereka dari awal. Para PNS, Polisi atau Tentara yang seharusnya bisa menjadi pengabdi masyarakat, justru pada akhirnya menjadi beban masyarakat.

Rasionalitas yang bermain ditengah masyarakat kita saat ini adalah—meminjam bahasa Weber—Rasionalitas Tujuan. Sehingga logika yang bermain pun adalah logika hasrat, bukan logika kebutuhan. Jika hasrat sudah diperturutkan, maka semua isi yang ada di alam semesta ini tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan manusia.

Seharusnya masyarakat kita bisa sadar bahwa sebenarnya kualitas kemanusiaan kita tidak bisa ditentukan dan ditakar dengan uang, dengan pangkat, ataupun dengan jabatan. Seharusnya masyarakat kita lebih mengedepankan rasionalitas nilai sehingga logika yang bermain adalah logika kebutuhan. Logika kebutuhan mengajarkan kepada kita bagaimana hidup yang sederhana. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dee dalam Supernova; “Kelebihan hanya akan mengakibatkan keindahan itu busuk dan sia-sia”. Dengan kesederhanaanlah maka kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan dan ketenangan hidup bisa kita peroleh dengan sendirinya. Tidak percaya? Silahkan buktikan sendiri.

05 Januari 2008

Menjadi Manusia Sempurna

Suatu hari, aku mendapat pesan via SMS dari seseorang yang hingga saai ini belum aku ketahui siapa pengirimnya. Tapi aku bisa memastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang mengenal diriku dengan baik. “Pendar waktu tak’ berjeda melayani semua jenis manusia. Ada yang tergilas, bahkan ada pula yang diperbudak waktu. Semua manusia berpacu dengan waktu, sampai-sampai hanya sedikit yang tetap ingat pada pencipta-Nya”. Begitulah pesan SMS yang aku terima.

Waktu itu aku tidak terlalu memikirkan siapa pengirim pesan tersebut, yang terpikir dibenakku adalah sebuah penghayatan terhadap isi pesan tersebut. Pesan SMS itu telah menghentak kesadaranku dan kembali menyadarkanku akan ke-diri-an-ku yang sering larut dalam keseharian dan lupa pada Sang Pencipta. Ketika dihadapkan pada sebuah masalah, barulah aku sadar akan ke-diri-an-ku dan kembali bersimpuh dihadapan Sang Pencipta.

Beberapa hari kemudian aku mendapatkan sebuah pertanyaan via SMS dari seorang sahabat, pertanyaannya seperti ini; “Mengapa manusia sering dihadapkan pada pilihan yang tidak menyenangkan?”. Sekilas aku berfikir, dengan seringnya manusia diperhadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang tidak menyenangkan, justru akan membuat manusia selalu sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang daif. Semakin berat pilihan hidup, maka manusia akan semakin dewasa, semakin arif, dan semakin bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Dan dengan demikian manusia akan tetap berada pada lingkaran kemanusiaannya. “Rasa manis air kelapa akan semakin nikmat rasanya apabila sebelumnya kita telah merasakan dengan sangat rasa haus nan pahit”.

Bandingkan hal tersebut di atas dengan QS. Al Faatihah : 6 – 7; Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Jadi pada dasarnya—tanpa disadari—Sang Pencipta yang Maha Rahim, dengan caranya yang penuh misteri telah menuntun manusia pada jalan-Nya yang lurus. Dengan demikian, bukanlah sebuah hal yang mustahil manusia bisa mencapai kualitas tertinggi kemanusiaannya, yaitu sebagai Insan Kamil.

Muhammad Iqbal pernah berkata, kebebasan punya arah dan tujuan. Arah dan tujuannya adalah membuat manusia menjadi Insan Kamil (manusia “sempurna”)—dalam istilah Nietzsche Uber Manch (Manusia Unggul). Kebebasan seharusnya menjadikan manusia sempurna. Sempurna bukan berarti lengkap, utuh, tidak kekurangan apapun atau serba bisa. Sempurna berarti sempurna sebagai manusia bebas.

Sempurna sebagai manusia sempurna berarti manusia mampu menerima hidup, menerima apapun yang didapat, menerima semua kebaikan dan keburukan yang terjadi dengan manusia. bebas yaitu ikhlas. Ikhlas menerima kebaikan dan keburukan yang terjadi pada diri sendiri tanpa merasa menderita atau berduka.

Betapa mulianya bila kita bisa hidup seperti itu—bisa ikhlas menerima apapun yang menghampiri kita, baik itu berupa kebaikan maupun itu berupa keburukan. Betapapun besarnya kebaikan yang datang menghampiri, kita tidak akan terlena olehnya. Dan sepahit apa pun keburukan yang mendera, maka kita akan mampu merasakan hal itu sebagai sebuah kenikmatan.

Mungkin inilah kualitas surgawi yang dapat kita rasakan didalam dunia ini, atau mungkin sebenarnya inilah surga yang sesungguhnya. Bukan surga yang ada “diluar sana”, tapi surga yang kita rasakan ada “disini”, hadir saat ini, pada diri kita sendiri. Surga bukanlah sebuah tempat, tapi surga adalah kualitas kenikmatan, sebuah puncak tertinggi kebebasan.Kita juga tidak bisa menafikkan, bahwa perjalanan untuk mencapai Insan Kamil bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh kerja keras, perjuangan, kesabaran dan keikhlasan untuk memperoleh gelar Insan Kamil. Apabila kita termasuk orang-orang yang memiliki tingkat kesibukan yang tinggi, maka manfaatkanlah waktu di sepertiga malammu untuk bersua dengan Sang Pencipta. Inilah waktu untuk melakukan refleksi diri dan ‘membaca’ keseharian yang telah, yang sedang, dan yang akan dilewati. Hilangkan dan bebaskan diri dari rasa penat dunia yang kejam bersama butiran-butiran air matamu dalam sujud yang tenang. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (QS. Al Faatihah : 5).
Wallahu'alam bissawab.

04 Januari 2008

Antara Tokoh Spiderman dan Tokoh Organisasi

Dalam sebuah organisasi biasanya ada seseorang yang dijadikan tokoh dan dijadikan teladan bagi para pengikutnya. Dan biasanya pula, orang yang dijadikan tokoh dan teladan adalah orang-orang yang memiliki kapasitas tertentu dalam organisasi tersebut, katakanlah dia sebagai seorang ketua.

Sebagai orang yang dijadikan tokoh atau teladan, biasanya dia cenderung menjadi sasaran dari setiap keluhan dan segala bentuk permasalahan yang dialami oleh organisasi tersebut. Hal ini mengkondisikan sang tokoh harus menjadi manusia yang tegar, kuat, sabar, dan tidak punya masalah pribadi sedikit pun, walaupun pada kenyataannya sang tokoh tersebut sebenarnya juga manusia biasa yang lemah yang juga bisa merasakan keletihan, dan ia juga tidak lepas dari masalah pribadi. Seorang tokoh hanya manusia biasa yang juga bisa meneteskan air mata karena derita yang menderanya.

Hanya sedikit orang yang merasakan derita seorang tokoh. Hanya orang-orang yang pernah menjadi tokohlah yang mampu merasakannya.

Disatu sisi, menjadi tokoh adalah anugerah, namun disisi lain menjadi tokoh adalah sebuah kutukan. Dengan menjadi tokoh, banyak hal yang bisa dilakukan untuk kepentingan banyak orang, namun banyak juga yang dirugikan. Dan yang dirugikan adalah kepentingan bahkan kebutuhan sang tokoh itu sendiri.

Untuk lebih jelasnya, mungkin bisa disaksikan dalam Film Spiderman. Spiderman adalah tokoh yang senantiasa melakukan kebajikan untuk kepentingan umum. Spiderman juga seorang manusia yang memiliki keluarga, memiliki impian untuk bersama dengan seorang perempuan yang dia cintai, dan dia juga seorang mahasiswa yang dituntut untuk rajin kuliah dan mengumpulkan tugas kuliah.

Dengan menjadi Spiderman, banyak orang yang tertolong karenanya. Namun dengan menjadi Spiderman, dia harus mengorbankan waktunya untuk keluarganya, dia mengubur impian untuk bisa bersama dengan perempuan yang dikasihinya, dan dia mengorbankan juga kuliahnya.

Dalam Film Spiderman tersebut, sang tokoh pernah mengalami pergulatan jiwa, dimana dia harus mengambil sebuah pilihan yang berat, apakah tetap menjadi Spiderman ataukah kembali menjadi manusia biasa. Karena dengan kembali menjadi manusia biasa, dia akan punya banyak waktu untuk memperhatikan keluarganya, dia bisa mewujudkan impiannya dengan perempuan yang dicintainya, dan dia juga bisa kembali kuliah yang rajin dan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dengan baik.

Tapi ini persoalan jiwa, sang tokoh Spiderman pada akhirnya tetap memilih menjadi Spiderman, dan dengan penuh kepedihan dia pun harus mengubur impiannya.

Cerita dalam Film Spiderman pada dasarnya juga dialami oleh seorang tokoh dalam sebuah organisasi, hanya konteksnya yang berbeda, namun pergolahan jiwa yang dialami oleh spiderman dan tokoh organisasi hampir semuanya sama.

Sekarang, siapa yang bisa memahami pergolakan jiwa seorang tokoh dalam sebuah organisasi? Siapa yang bersedia ber-jihad dengan sang tokoh? Adakah yang mampu merajut impian yang dipendam oleh seorang tokoh?

03 Januari 2008

Sebuah Cerita Tentang Pulau Tamalanrea

Suatu ketika, dimana aku merasakan kecemasan yang sangat, aku mencoba mendamaikan hati disebuah pantai. Kunaiki sebuah sampan kecil dan aku berbaring diatasnya. Semilir angin pantai merayu kelopak mataku dan akhirnya akupun tertidur.

Kicauan burung Nuri membangunkanku dan seketika itupun aku terperanjat di atas sampai kecil. Aku terdampar disebuah pulau. Sampan dan angin telah membawaku kesini, disebuah pulau yang tidak pernah aku kenali sebelumnya. Kucoba menurunkan kakiku dari sampan dan kujejakkan langkah demi langkah kebibir pantai. Takjub aku melihat pulau ini, pantai dengan pasir putih yang bersih dan indah. Yang memantulkan cahaya mentari dengan lembutnya. Akupun berlari diatasnya hingga rasa haus dan lapar mulai menyerang tenggorokan dan lambungku.

Akupun segera meninggalkan pantai dan menyusuri pohon-pohon kelapa yang rindang dan berbuah lebat. Kulepaskan rasa haus yang mendera dengan meminum air kelapa yang ternyata sangat manis dan segar. Setelah itu kulanjutkan perjalananku hingga akhirnya kudapati sebuah perkebunan kopi, daun teh dan kelapa sawit. Perkebunan ini tidak terlalu luas, namun bisa memenuhi kebutuhan manusia yang ada di pulau ini.

Di sebelah utara perkebunan ini kulihat hamparan padi yang bijinya sudah menguning. Di sebelah barat aku melihat berbagai sayur-sayuran hijau dan subur. Akupun memilih untuk berjalan kearah timur dimana disitu kudapati buah-buahan segar yang langsung kupetik dari tangkainya. Setelah lambung ini terasa penuh, akupun bersandar pada sebuah pohon apel. Dalam ketenangan itu hatiku mulai bertanya-tanya; siapa pemilik semua ini? Perkebunan kopi, daun teh, kelapa sawit, padi yang siap panen, sayuran yang subur dan hijau, buah-buahan ini!!!???

Pertanyaan-pertanyaan ini mendesakku untuk segera melangkahkan kaki tuk mencari jawabannya. Kutelusuri sebuah jalan kecil kearah timur.

Betapa terkejutnya aku melihat sebuah kota ditengah pulau ini, sebuah kota yang ramai dengan penduduk yang ramah. Para perempuannya banyak yang menggunakan jalabiah (jilbab besar) dan ada pula yang mengenakan cadar. Para laki-laki banyak yang mengenakan jubah dan ada pula yang mengenakan surban dikepalanya. Mungkin itu adalah pakaian kebanggaan penduduk dipulau ini.

Tak lama berselang, sekelompok orang menghampiriku, ternyata mereka adalah para pengabdi masyarakat yang bertugas untuk menjaga keamanan kota dan pulau tersebut. Mereka dikenal dengan sebutan Laskar Hijau-Hitam.

Dengan ramahnya Laskar Hijau-Hitam tersebut menyapaku dan menanyakan asal-usulku. Ternyata mereka memperhatikan penampilanku yang menggunakan baju kaos hitam dan celana jeans. Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya mereka memberiku sebuah jubah putih. Mereka memintaku untuk mengenakan jubah tersebut dan aku dibebaskan untuk mengunjungi semua tempat yang ada di pulau Tamalanrea ini dengan tetap memperhatikan dan mematuhi tradisi yang ada di pulau ini. Sejak inilah aku menyadari bahwa ternyata nama pulau ini adalah Pulau Tamalanrea.

Melihat seisi kota ini aku teringat dengan kota termegah didunia pada abad ke-8, yaitu kota Bagdad. Sebuah kota kosmopolitan yang besar dan berpenduduk dua juta orang dari berbagai bangsa. Kota yang dipenuhi gedung-gedung, masjid-masjid yang indah, serta istana yang besar dan megah.

Setelah berkeliling kota, aku mencoba memasuki sebuah gedung yang dikenal sebagai Perpustakaan Insan Mutamaddin. Insan mutamaddin adalah insan atau masyarakat yang berperadaban tinggi, dimana pada tingkat suprastruktur, terbangun bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Pada tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Dan pada tingkat struktur, tercapainya sebuah sistem, struktur, dan performa kenegaraan yang memenuhi hak-hak masyarakat yang bisaanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Didalam perpustakaan ini kudapati ribuah buku tertata rapi dan telah diklasifikasikan, mulai dari buku teologi, sosial, politik, budaya, seni, pendidikan, sampai buku-buku filsafat yang dikarang oleh tokoh-tokoh filsafat Islam maupun Barat.

Didalam perpustakaan ini pula aku menemukan polymath. Polymath adalah orang-orang jenius yang mampu menguasai beberapa bidang ilmu yang berbeda sekaligus. Dalam dunia islam kita mengenal Al-Khawarizmi yang menguasai ilmu Matematika (Algoritme, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan Geografi; Al-Kindi yang menguasai Filsafat, Matematika, Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik dan Metalurgi; Al-Farabi yang menguasai Ilmu Sosial, Logika, Filsafat, Ilmu Politik, dan ahli musik; Al-Razi yang menguasai Kedokteran, Ilmu Kimia, Astronomi; Al-Biruni yang menguasai Astronomi dan Matematika; Ibn Sina yang menguasai Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi; Al-Ghazali yang menguasai Sosiologi, Teologi dan Filsafat; Ibn Rusyd yang menguasai Filsafat, Teologi, Ilmu Hukum, Kedokteran dan Astronomi. Abn Khaldun yang menguasai Filsafat Sejarah, Sosiologi dan Ilmu Politik. Adapun polymath terkenal lainnya seperti Leonardo da Vinci, Isaac Newton, Adam Smith, Thomas Alfa Edison, Benjamin Franklin, Thomas Jefferson (presiden ke-3 Amerika), Winston Churchill (PM Inggris), dll.

Bukan hanya ribuan buku dan polymath yang aku temukan di Perpustakaan Insan Mutamaddin ini. Perpustaakaan ini juga dilengkapi sebuah ruang seminar dan laboratorium dengan peralatan yang cukup canggih.

Setelah mengelilingi Perpustakaan Insan Mutamaddin, aku mengunjungi sebuah Rumah Sakit yang bernama RS. Ulul Albab. Dalam Rumah Sakit ini, pasien dilayani oleh dokter-dokter ahli dengan metode kedokteran yang saintifik. Mereka ditempatkan dalam ruangan yang bersih dan nyaman. Para pasien yang masuk tidak perlu membayar apapun. Pemeriksaan dokter, obat, atau penginapan semua diberikan secara gratis. Ruangan-ruangan yang ada dipisahkan secara khusus berdasarkan penyakit. Ada ruang untuk penderita Hepatitis, penyakit Maag, ada ruang operasi, dan ada pula ruang untuk merawat yang sedang mengalami gangguan jiwa. Rumah Sakit ini dikengkapi pula perpustakaan yang berisi buku-buku kedokteran.

Setelah puas melihat-lihat isi rumah sakit, aku mengunjungi Istana Tamadduni di pusat kota. Istilah tamaddun lahir dari rahim intelektual muslim abad pertengahan. Tamaddun berasal dari akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti “kota” atau “peradaban”. Kata madany kemudian mengalami penambahan ta’ di awal dan tasydiid pada ”dal” untuk menguatkan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud dengan masyarakat tamadduni merupakan peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.

Di istana ini, aku dilayani selayaknya tamu istimewa. Setelah dihidangkan minuman dan makanan lengkap dengan buah-buahan, aku pun diajak kesebuah ruang pertemuan. Didalam ruangan itu aku berkenalan dengan Pemimpin Umum Istana, Keluarga Istana, Penasehat Istana, para Pimpinan Laskar Hijau-Hitam dan para Menteri Istana. Mereka semua ternyata orang yang memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan. Mereka memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa. Mereka adalah Intelektual-Akademisi yang bervisi sosial profetis yang cerdas secara akademik, bervisi profetis dan bernafaskan Islam serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan. Selain itu, mereka juga memiliki Jiwa Enterpreneurship, sehingga memiliki kemampuan ‘kewirausahaan’ dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya.

Setelah berkenalan, kami pun berdiskusi seputar rekayasa peradaban dan terkadang kami pun mendiskusikan tentang pemikiran tokoh-tokoh filsafat, mulai dari yang tradisionalis sampai posmodernis.

Setelah puas berdiskusi, raja meminta salah seorang pelayan istana untuk mengantarku kesebuah ruang untuk istirahat. Dengan mengucapkan salam, akupun mengikuti pelayan tersebut. Melihat kamar tidur istana yang indah dan nyaman membuat aku ingin segera melepaskan lelah di atasnya.

Suara azan subuh membangunkanku dari lelap tidur. Aku merasakan ada yang aneh, tempat tidur yang kugunakan terasa padat dan keras, bantal yang kugunakan pun terasa tipis, tanpa guling. Aku baru sadar, ternyata inilah tempat tidurku yang sesungguhnya. Pulau Tamalanrea hanyalah mimpi.

Setelah menunaikan shalat subuh, aku berdoa semoga mimpi yang aku alami dapat terulang kembali. Dalam harapanku yang terdalam, aku mendambakan mimpi yang baru saja aku alami tidak hanya sebatas mimpi belaka, namun bisa aku realisasikan dalam kehidupan yang nyata. Amin…

02 Januari 2008

Merenungkan Kembali Makna Syahadat

Dalam Islam, kata syahadat selalu dikaitkan dengan kata Tauhid. Secara sederhana, syahadat dapat diartikan sebagai kesaksian atau penyaksian. Penyaksian selalu berangkat dari sebuah keyakinan, karena kita tidak akan pernah melakukan penyaksian apabila kita belum memiliki keyakinan. Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karena kita telah berangkat dari sebuah keyakinan bahwa hanyalah Allah satu-satunya zat yang maha atas segala sesuatu yang ada didunia ini. Adapun yang berpendapat dan mayakini tidak adanya Tuhan, itu adalah pilihannya. Percaya atau tidak dengan adanya Tuhan dan yakin atau tidak dengan adanya Tuhan, hal itu hanyalah persoalan keberpihakan, dan hal itu berada dalam ranah ideologis.

Syahadat memberi keyakinan dan kepastian. Syahadat juga merupakan dasar eksistensi kemanusiaan kita. Keyakinan dan kepastian merupakan suatu hal yang inhern dalam syahadat. Namun perlu diketahui bahwa syahadat akan berarti ketika ia bermakna. Syahadat bukan sekedar ucapan lisan, kata-kata, simbol, dan lain sebagainya. Syahadat adalah sesuatu yang jauh melampaui itu semua, syahadat harus diterapkan atau di praktekkan, dan dari praktek itulah kita akan menemukan makna, makna dari sebuah syahadat, makna yang tidak akan pernah mampu ditampung oleh ucapan, kata-kata, dan simbol.

Di dalam Al-Qur’an konsep syahadat merupakan bentuk dasar eksistensial kemanusiaan kita dan secara epistemologi, syahadat merupakan sebuah ikrar. Seperti apa syahadat dapat dijadikan sebagai dasar eksistensial kita? – mari kita telusuri bersama.

Sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan setan, jin dan malaikat yang semuanya pada waktu itu bertauhid kepada Allah. Setelah manusia (Adam) diciptakan, setan jadi kafir. Saat manusia akan diciptakan, setan protes, karena menurutnya, manusia hanya akan mendatangkan kerusakan. Allah mengatakan bahwa Aku (Allah) mengetahui segala sesuatu yang kalian tidak ketahui. Dalam Al-Quar’an dikatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Khalifah yang dimaksud disini jika manusia menunjukkan eksistensi Tuhan, seperti apa itu?

Dasar eksistensi manusia adalah ruh. Ruh adalah sesuatu yang murni dari zat Allah. Ruh inilah yang ditiupkan kedalam seonggok daging (dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan tanah) yang mati. Dan perlu diketahui bahwa sebelum ruh ditiupkan kedalam jasad, ruh telah melakukan ikrar (syahadat), bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Daging yang telah dititipi ruh inilah yang kemudian akan terlahir dari rahim ibu dalam sosok bayi mungil. Bayi yang lahir tersebut dilengkapi dengan ruh, yang dilengkapi dengan takdirnya masing-masing (kematian, jodoh, rezeki, dll), dan pada saat itu pula manusia telah memikul sebuah tanggungjawab sebagi khalifah.

Jadi, pada dasarnya manusia memiliki dua dimensi yang berbeda. Pertama adalah dimensi ilahiah yaitu ruh dan kedua adalah dimensi materil yaitu jasad (tanah). Dan didalam Al-Qur’an dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang hanif dan din (agama) adalah jalan Allah. Pada dasarnya din bukanlah agama, karena agama menunjukkan sesuatu yang banyak (banyak agama), sedangkan din menyatakan dirinya sendiri (tidak ada yang lain).

Ketika manusia terlahir, maka terjadilah tarik-menarik antara ruh yang suci dengan dimensi materil, sehingga lahirlah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah dimensi ketertarikan manusia terhadap aspek-aspek materil/duniawi. Dari adanya hawa nafsu, lahirlah keserakahan.

Pada awal kejadian manusia, ruh lah yang datang dan masuk kedalam jasad. Jadi, ruh yang suharusnya menjadi pemandu. Ketika melakukan sesuatu yang berlebihan, rohani memberikan sinyal berupa rasa cukup. Dia akan memberikan bisikan-bisikan ilahi. Pada saat itu sebenarnya syahadat yang bereaksi. Tapi jika kita tidak mampu melakukannya, maka hawa nafsu yang dominan dan akan menguasai diri kita.

Disinilah letak masalah diciptakannya manusia. Masalah itu ada setelah adanya manusia. Pada alam ini berlaku sunnatullah (para ilmuan mengatakan hukum alam) dan semuanya berjalan sesuai hukum alam. Masalah itu muncul, ketika manusia mencoba keluar dari lingkaran hukum-hukum Tuhan. Manusia menciptakan problem ketika manusia memperturutkan hawa nafsunya, yaitu bekerjanya tarikan-menarik yang bersifat materil/duniawi.

Ketika manusia mencoba untuk keluar dari lingkaran sunnatullah, maka pada saat itu sebenarnya syahadat teringkari. Inilah yang menyebabkan terjadinya desakralisasi, denaturalisasi, dan dehumanisasi. Desakralisasi terjadi karena dimensi ke-ilahi-an manusia tertutupi dan didominasi oleh dimensi duniawi/materil. Karena dimensi materil yang dominan, maka keserakahan pun muncul pada diri manusia. Pada saat inilah terjadi denaturalisasi, manusia melakukan pemerkosaan dan eksploitasi terhadap alam. Ketika manusia menjadi sumber masalah, artinya manusia gagal menjadi khalifah, dan pada saat itu pula terjadilah dehumanisasi. Manusia tidak hanya menjadi perusak alam, tapi juga menjadi perusak sesamanya. Jadi, pada saat kita gagal menjadi khalifah, maka syahadat menjadi batal.

Perlu ditekankan kembali bahwa syahadat hadir setelah lambang, kata-kata, dan simbol dimaknai. Syahadat tidak ada dalam ucapan, tapi ada pada tataran praktisnya. Jika kita melakukan segala sesuatunya atas landasan syahadat, sesuai dengan janji kita, maka kita telah berhasil bersaksi. Meskipun kita telah mati atau jasad kita hancur, ruh akan tetap hidup dan mempertanggungjawabkan syahadatnya. Jika ia kotor, ia akan dicuci oleh Allah. Adapun syarat agar bisa menjadi khalifah adalah dengan memadukan logika iman, logika rasional, dan logika empirik.

Syahadat adalah penjelasan eksistensi kita. Syahadat adalah manusia itu sendiri. Manusia adalah ketika rohani berhasil membimbing dirinya, maka pada saat itu dia berhasil menjadi khalifah. Tetaplah berada dalam hukum-hukum Tuhan. Takdir adalah ketentuan Tuhan atas kita. Takdir adalah misteri, dan dengan adanya misteri inilah kita tidak menjadi orang yang determinis. Kejarlah takdir, dan itulah yang akan menjelma menjadi ikhtiar.[Hzr]

01 Januari 2008

Menyusuri Proyek Modernisme

Auguste Comte (1798-1857) pernah meramalkan suatu tahap perkembangan akhir masyarakat, dimana modernisme sebagai gerakan pencerahan untuk menciptakan tata sosial baru menemukan jalan buntu tatkala memaksakan segalanya untuk masuk kesuatu tahap perkembangan akhir masyarakat tersebut. Auguste Comte menggunakan pendekatan atau logika kuantitatif untuk mereorganisasai kehidupan masyarakat (sosial) demi perbaikan umat. Kondisi modernitas melewati tiga tahap perkembangan yakni, pertama tahap teologis, berangkat dari perkembangan dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup. Kedua, tahap metafisis, berangkat dari penggunaan konsep-konsep abstrak, seperti kodrat, kehendak tuhan, roh absolut, tuntutan hati nurani dan kewajiban moral, yang berasal dari kebebasan akal budi, namun tidak memiliki dasar-dasar empirik yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan ketiga, tahap ilmiah/positif, menggunakan observasi, fenomena untuk menemukan hukum-hukum dinamis yang tampak oleh panca indera dengan menggunakan analisis akal sehat.

Logika kuantitatif yang berujung pada tahap ilmiah/positif tersebut, ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan/tatanan sosial. Dampak yang diakibatkannya yaitu, pertama bahwa kebutuhan manusia digiring pada –meminjam terminologinya Weber—“orientasi tujuan” sehingga masalah etika dan moral menjadi marginal. Kedua, harga diri dan martabat seseorang ditentukan oleh seberapa besar akses dan konstribusi ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa.

Dari penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya ada dua bentuk/arah kebutuhan manusia, yaitu pertama pada “orientasi tujuan” dan kedua pada “orientasi nilai”. Seseorang yang memiliki orientasi tujuan dalam hidupnya, dia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan berbagai macam cara agar segala hasrat dan tujuannya terpenuhi—bahkan tanpa mempedulikan lagi masalah etika dan moral. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki orientasi nilai dalam hidupnya, dia lebih menekankan pada sebuah “proses” dalam mencapai tujuannya. Dia lebih menikmati dan memaknai sebuah perjalanan yang berliku-liku tanpa harus melupakan tujuannya.

Sebagai contoh, setiap orang pasti pernah merasakan lapar. Nah, untuk memenuhi kebutuhannya/tujuannya, yaitu menghilangkan rasa lapar, seseorang dapat melakukan berbagai macam cara agar dia bisa menghilangkan rasa laparnya. Bagi orang yang memiliki orientasi tujuan, mereka akan lebih memilih membeli makanan atau masuk kesebuah restauran dan memuaskan hasratnya dan mengakhiri laparnya. Namun bagi orang yang memiliki orientasi nilai, dia akan lebih memilih untuk memasak sendiri atau dia lebih memilih makan makanan yang dibuatkan oleh ibu, istri atau anaknya. Orang yang seperti ini beranggapan bahwa ada sebuah kenikmatan, ada sebuah nilai lebih yang didapatkan saat dia memilih makan makanan yang dibuatnya sendiri atau makan makanan yang dibuat oleh ibu, istri atau anaknya--walaupun makanan yang ada hanyalah nasi putih + tahu-tempe + lombok tomat. Nilai lebih yang saya maksud pada konteks seperti ini adalah, bahwa orang yang memiliki orientasi nilai dapat merasakan adanya aroma cinta dan kasih sayang yang menjadi bumbu penyedap pada hidangan makanan yang dibuat oleh ibu, istri atau anaknya.

Berbeda halnya dengan orang yang memilih makan di warung makan atau di restauran. Dia hanya bisa merasakan enaknya makanan direstauran, tapi dia tidak dapat merasakan nikmatnya masakan seorang istri misalnya, dimana pada masakan tersebut ada sebuah kenikmatan tersendiri yang tentunya berasal dari aroma cinta dari seorang istri.

Contoh diatas adalah sebagian kecil dari realitas atau fenomena kehidupan yang dapat kita lihat sehari-hari. Masih banyak contoh lain yang dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa pada konteks kekinian, masyarakat lebih banyak yang memiliki orientasi tujuan dalam hidupnya dibandingkan dengan orang yang memiliki orientasi nilai dalam hidupnya. Budaya konsumerisme adalah contoh riil dari kehidupan yang berorientasi tujuan. Budaya konsumerisme merupakan kondisi yang diakibatkan oleh proyek modernisasi.

Selain menggiring manusia pada “orientasi tujuan”, proyek modernisme telah menciptakan sebuah paradigma, bahwa harga diri dan martabat seseorang ditentukan oleh seberapa besar akses dan konstribusi ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa. Paradigma seperti inilah yang menciptakan sekat yang sangat jauh dalam status sosial. Status sosial seorang pengusaha lebih tinggi dibandingkan dengan status seorang petani. Status sosial seorang dosen lebih tinggi dibanding status seorang guru ngaji. Status sosial seorang dokter yang memiliki keahlian dalam pengobatan lebih tinggi dari pada status seorang ibu yang dapat menyembuhkan sakit anaknya dengan cinta dan perhatiannya yang tulus.

Paradigma binerian inilah yang saat ini berkembang dikalangan masyarakat kita. Cobalah kita melihat dengan lebih teliti dan mendalam, bahwa ternyata tidak ada perbedaan yang mendasar antara seorang pengusaha dengan seorang petani, dosen dengan guru ngaji, dokter dengan ibu, dan lain sebagainya. Konstruksi budayalah yang menciptakan sekat-sekat dan kelas-kelas sosial antara seorang pengusaha dengan seorang petani, seorang dosen dengan guru ngaji, seorang dokter dengan seorang ibu, dan lain sebagainya. Mereka—pengusaha dan petani, dosen dan guru ngaji, dokter dan ibu, dan lain sebagainya--sama-sama manusia yang juga diciptakan dari tanah dan dilahirkan dari rahim seorang ibu. Dalam bahasa Al-Quran, bahwa yang membedakan antara pengusaha dengan petani, dosen dengan guru ngaji, dokter dengan ibu, dan lain sebagainya, hanyalah pada amal kebaikannya.

Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus meninggalkan dan membunuh modernisme? Jawabannya tidak. Kita tidak akan mungkin lepas dari cengkraman modernisme, bahkan kita juga membutuhkannya. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita mampu menginternalisasi akar tradisi kita masing-masing agar tetap melekat kuat pada diri kita masing-masing, dan bagaimana menemukan sintesa antara medernisme dengan akar tradisi kita, sehingga segala tindakan kita akan senantiasa kontekstual di zamannya.