11 Januari 2008

Khittah Perjuangan dan Posmodernisme

Khittah Perjuangan dikenal sebagai buah karya intelektual kader-kader HMI. Selain sebagai nalar bentukan kader-kader HMI, Khittah Perjuangan juga merupakan nalar pembentuk kader-kader HMI. Namun terkadang muncul pikiran nakal saya untuk mempertanyakan, apakah memang benar Khittah Perjuangan adalah nalar bentukan kader-kader HMI? Jika memang benar, apakah Khittah Perjuangan telah merepresentasikan seluruh pemikiran kader-kader HMI? Apakah Khittah Perjuangan mampu menjawab kebutuhan kader-kader HMI 5 sampai 10 tahun kedepan? Dan apakah Khittah Perjuangan mampu mengatasi posmodernitas serta geliat wacana posmodernisme yang selama ini juga dikonsumsi oleh sebagian kader-kader HMI?

Bila kita merujuk pada Khirarki Konstitusi HMI, maka Khittah Perjuangan berada pada posisi aturan penjelas, dimana Khittah Perjuangan menjelaskan pasal-pasal tentang asas, tujuan dan independensi dalam AD. Bahkan Khittah Perjuangan ditempatkan sebagai Falsafah Gerakan HMI.

Sebagai falsafah gerakan, menjadikan posisi Khittah Perjungan sangat fital dalam membentuk karakter kader-kader HMI. Bayangkan saja, dalam setiap bulannya, ratusan Mahasiswa Islam yang tersebar ditanah air, direkrut menjadi anggota HMI dengan menggunakan ”saringan” Khittah Perjuangan.

Kita bersama telah mengetahui bahwa Khittah Perjuangan dalam Basic Training (LK 1) menekankan para proses ideologisasi. Doktrin atau tafsir asas (Islam) ala HMI, yang digunakan dalam Basic Training (LK 1) adalah muatan dari Khittah Perjuangan, sehingga diharapkan dalam jiwa lepasan Basic Training (LK 1) tersebut hingga menjadi kader dan alumni, akan terus bersemayam Khittah Perjuangan.

Khittah Perjuangan bukan sekedar teks belaka yang memiliki muatan Keyakinan Muslim, Wawasan Ilmu, Wawasan Sosial, Kepemimpinan dan Etos Perjuangan, serta menyajikan 16 ayat-ayat ulul albab, namun lebih jauh Khittah Perjuangan sangat menentukan seperti apa model kader-kader HMI kedepan. Olehnya itu, sedikit saja ada ”kesalahan” dalam Khittah Perjuangan, maka secara tidak langsung kader-kader HMI telah tersesatkan. Tidak mengherankan jika suatu saat nanti ditemukan kader-kader yang berideologi Khittah Perjuangan, namun gagap menghadapi perubahan zaman, kader-kader yang mengalami absurditas dan mengalami alienasi dalam realitasnya sendiri.

Sekilas tentang Wacana Posmodernisme
Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba; pertama, mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme; kedua, kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni modern; ketiga, wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi, serta tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan nilai-simbol.

Komaruddin Hidayat dalam esainya “Melampaui Nama-Nama; Islam dan Posmodernisme”, mengutip Akbar S. Ahmed dalam Postmodernism and Islam (1992), bahwa Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol, yaitu:

Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu.

Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.

Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.

Seperti itulah kondisi posmodernitas. Nah, sekarang apakah Khittah Perjuangan mampu mengatasi kondisi tersebut ataukah sebaliknya, Khittah Perjuangan telah tergilas oleh kondisi posmodernitas. Sebagai falsafah gerakan HMI, semestinya Khittah Perjuangan mampu mengatasi kondisi posmodernitas tersebut dan “mengemas” wacana posmodernisme dengan baik. Namun, apakah Khittah Perjuangan yang ada saat ini mampu melakukan hal tersebut?

Khittah Perjuangan : Pemikiran Siapa???
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa posisi Khittah Perjungan sangat fital dalam membentuk karakter kader-kader HMI, namun apakah memang benar Khittah Perjuangan adalah nalar bentukan kader-kader HMI? Jika memang benar, apakah Khittah Perjuangan telah merepresentasikan seluruh pemikiran kader-kader HMI ataukah Khittah Perjuangan hanya merepresentasikan segelintir atau sekelompok orang saja? Apakah Khittah Perjuangan mampu menjawab kebutuhan kader-kader HMI 5 sampai 10 tahun kedepan? Dan apakah Khittah Perjuangan mampu mengatasi posmodernitas yang melingkupinya serta geliat wacana posmodernisme yang selama ini juga dikonsumsi oleh sebagian kader-kader HMI?

Mungkin kita semua menyepakati bahwa Khittah Perjuangan ditetapkan dan di-sah-kan ditingkat Kongres, namun apakah Khittah Perjuangan betul-betul telah merepresentasikan seluruh pikiran peserta kongres yang hadir pada saat itu?

Sebagai bahan pertimbangan bahwa, jika kita ingin mengkritisi penjelasan dari muatan Khittah Perjuangan, maka kita dapat menemukan sebuah bangunan logika yang sangat Hegelian dan hal tersebut sangat modernis. Tentu hal ini berseberangan dengan kondisi posmodernitas yang melingkupi HMI saat ini serta geliat wacana posmodernisme yang selama ini juga dikonsumsi oleh sebagian kader-kader HMI. Jika kondisi posmodernitas saja tidak mampu diatasi oleh Khittah Perjuangan, bagaimana bisa ia (baca : Khittah Perjuangan) mampu menjawab kebutuhan kader-kader HMI 5 sampai 10 tahun kedepan.

Perlu adanya Kritik Khittah
Semua pertanyaan-pertanyaan mendasar diatas harus mampu dijawab oleh Khittah Perjuangan. Jika tidak, lebih baik Khittah Perjuangan dibuang saja ke tong sampah dari pada akan menyesatkan banyak orang jika digunakan sebagai falsafah gerakan HMI. Olehnya itu kritik terhadap Khittah Perjuangan perlu untuk dilakukan secara terus menerus.

Namun yang perlu dihindari dalam melakukan kritik Khittah adalah sakralisasi berlebihan terhadap Khittah, sehingga alih-alih melakukan kritik-konstruktif terhadap Khittah, malah sebaliknya kita akan semakin mengokohkan kemapanan Khittah yang telah ada.

Hal penting lain yang perlu diperhatikan bahwa Khittah Perjuangan harus merepresentasikan seluruh kader-kader HMI, Jika hal tersebut tidak dilakukan maka bisa terjadi sebuah hegemoni dan dominasi ”kuasa” tertentu didalam Khittah.

Istilah hegemoni, kita tahu berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Begitu pun dengan dominasi ”kuasa” tertentu akan menyeret kader-kader HMI pada sebuah wacana pendisiplinan dan normalisasi. Hal ini akan membawa kader-kader HMI menjadi homogen dan dengan demikian HMI akan kehilangan jati dirinya sebagai organisasi yang plural.

Agar Khittah Perjuangan bisa merepresentasikan semua kader-kader HMI, maka hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah bagaimana mengangkat dan membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan. Karnaval multikulturalisme yang beragam suaranya dan setara posisi perlu disemaikan. Dengan demikian tidak ada lagi kader-kader HMI yang berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.

Sarat utama agar pengetahuan-pengetahuan yang tertekan dan suara-suara subaltern tersebut dapat muncul kepermukaan, tentunya dengan melakukan perombakan terhadap muatan Khittah Perjuangan yang ada saat ini. Penjelasan muatan Khittah Perjuangan yang ada saat ini terlalu meng-khusus dan terperinci, sehingga menutup ruang ekspresi yang lebih meluas.

Penjelasan muatan khittah yang terlalu meng-khusus sarat dengan dominasi ”kuasa” tertentu, dan hal ini bisa menyeret kader-kader HMI menjadi satu warna dalam bangunan logika ”khusus” tersebut. Dengan demikian alih-alih ingin mengangkat dan membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan, justru yang terjadi adalah sebuah proses ”pembunuhan” terhadap pengetahuan-pengetahuan yang tertekan tersebut.

Dengan penjelasan muatan Khittah Perjuangan yang terlalu meng-khusus dan terperinci tidak akan mampu merepresentasikan semua pemikiran kader-kader HMI, ia hanya mampu merepresentasikan segelintir atau sekelompok orang tertentu saja.

Andaikan Saja...
Jika saja penjelasan muatan Khittah Perjuangan seperti Muqaddimah dalam Anggaran Dasar HMI (Umum namun menjiwai seluruh pasal yang ada dalam AD), tentu hal ini memungkinkan merepresentasikan semua pemikiran kader-kader HMI. Pemaparan tentang Khittah Perjuangan tidak perlu panjang lebar dan membutuhkan kertas berlembar-lembar, cukup intinya saja namun mampu menjiwai muatan Keyakinan Muslim, Wawasan Ilmu, Wawasan Sosial, Kepemimpinan dan Etos Perjuangan.

Khittah Perjuangan seperti ini tentu mampu mengakomodasi seluruh pemikiran kader-kader HMI. Tidak ada lagi kader-kader HMI yang berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. Pengetahuan-pengetahuan yang tertekan dan suara-suara subaltern dapat muncul kepermukaan. Dengan demikian HMI akan semakin berwarna-warni dan lebih terbuka atas perubahan zaman.

~ Makassar, 09 Januari 2008 ~

Tidak ada komentar: