10 Januari 2008

Wacana Makassar Studies

Akankah Makassar Studies—sebagai cara pandang yang khas ala Makassar
dalam mendefinisikan diri (the self), yang lain (the other), dan realitas Makassar itu sendiri
tumbuh dan berkembang di Makassar !

Ataukah Makassar Studies
hanyalah sebuah bentuk Objektivikasi terhadap Makassar !


Wacana Makassar Studies merupakan sebuah upaya untuk menemukan cara pandang yang khas ala Makassar dalam mendefinisikan diri (the self), yang lain (the other), dan realitas Makassar itu sendiri. Namun ada beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam mengenai Makassar Studies, jangan sampai justru Makassar studies terjebak dalam bentuk orientalisme gaya baru. Maksudnya bahwa Makassar studies tetap merupakan penjelasan atau cara pandang ‘yang lain’ (the other) terhadap Makassar sebagai obyek.

Olehnya itu, untuk melihat hal tersebut secara lebih jernih maka dibutuhkan sebuah pembacaan mendalam terhadap cultural studies dan hubungannya dengan Makassar studies.

Menurut Ahmad Baso, bahwa cultural studies adalah salah satu bentuk analisis --ada yang menyebutnya pula sebagai sebuah gerakan-- untuk membaca peta dominasi maupun resistensi. Yakni membaca bagaimana kebudayaan menjadi arena untuk melakukan dominasi, sekaligus sebagai alat untuk memainkan negosiasi ataupun perlawanan.

Cultural studies adalah sebuah kerangka analisis yang sulit didefinisikan secara ketat, disatu sisi cultural stadies adalah sesuatu yang antidisiplin, disisi lain cultural studies adalah sesuatu yang multidisiplin. Dikatakan antisiplin karena cultural studies tidak menyandarkan diri pada standar-standar disiplin ilmu tertentu yang terlembagakan. Dan dikatakan multidisiplin karena cultural studies menggunakan berbagai macam perspektif disiplin ilmu dalam memandang realitas.

Secara sepintas terlihat bahwa cultural studies merupakan wacana yang genit, termasuk wacana Makassar Studies. Cultural studies muncul karena kegagalan sosiologi dalam menjelaskan realitas masyarakat kontemporer, terutama kegagalannya untuk menjadi corong bagi segala aspirasi yang timbul pada setiap lapisan sosial yang ada, terutama suara-suara yang muncul dari lapisan pheriferi atau subaltern. Begitu pula halnya dengan Makassar Studies. Seharusnya Makassar Studies muncul karena adanya kegelisahan yang muncul dari subaltern, namun tidak mendapatkan ruang yang leluasa untuk mengekspresikan dirinya.

Wacana cultural studies adalah wacana yang multi perspektif, dan juga sebagai ajang perlawanan terhadap dominasi. Cultural Studies merupakan ruang bagi subaltern bicara, karena didalamnya memberikan ruang yang selembar-lebarnya bagi subaltern untuk mengekspresikan dirinya. Makassar sebagai subaltern tentunya juga membutuhkan ruang yang luas untuk bicara dan mengekspresikan dirinya. Disinilah Makassar studies hadir sebagai ruang bagi subaltern untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi yang ada.

Karena Makassar Studies diorientasikan menjadi ruang untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu, maka seharusnya Makassar studies harus mampu, pertama, betul-betul menjadi cara pandang Makassar atas dirinya (the self). Ini berarti bahwa Makassar Studies harus berbicara bagaimana orang Makassar memperlakukan tradisi yang melekat dan tumbuh di Makassar, tradisi yang dimaksud tentunya merupakan representasi dari identitas diri Makassar. Tradisi menjadi begitu penting, karena bagi Hasan Hanafi, tradisi masih dijadikan sumber otoritas, yang dipakai untuk menolak ataupun memberikan dukungan. Yang menjadi titik tekan disini adalah bagaimana Makassar Studies betul-betul mampu menjelaskan, memaknai, dan mendefinisikan tradisi Makassar sebagai representasi dari dirinya sendiri.

Kedua, Makassar studies sebagai cara pandang atas yang lain (the other), maksudnya bahwa Makassar studies berbicara tentang realitas yang tumbuh dan berkembang diluar diri atau tradisi Makassar. Hal ini berkaitan dengan kondisi modernitas yang melingkupi tradisi yang tumbuh di Makassar, sebagai sesuatu yang berasal dari luar. Kondisi modernitas yang tumbuh dan berkembang di Makassar tentunya sangat berimplikasi terhadap pergeseran tradisi Makassar, bahkan hal ini dapat menciptakan adanya hibriditas yang lahir dari hasil persinggungan modernitas dengan tradisi Makassar. Pada konteks ini, Makassar Studies seharusnya merupakan cara pandang Makassar dalam melihat kondisi modernitas yang melingkupinya.

Ketiga, Makassar Studies sebagai cara pandang atas realitas berbicara tentang bagaimana Makassar hari ini. Realitas Makassar saat ini tentunya tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi antara tradisi lokal Makassar dengan kondisi modernitas yang melingkupinya. Banyak tradisi yang saat ini berkembang di Makassar merupakan tradisi lokal yang telah terhibridasi dengan kondisi modernitas yang melingkupinya. Misalnya saja bahasa gaul anak muda Makassar. Bahasa gaul yang berkembang di Makassar merupakan perpaduan antara logat Makassar yang okkots dengan gaya bahasa anak-anak modern. Ketiga cara pandang inilah yang menjadi objek kajian dari Makassar Studies.

Olehnya itu, untuk menerapkan wacana Makassar studies dibutuhkan pijakan teoritik atau dasar-dasar epistemologi yang betul-betul mengakar pada nalar Makassar. Dasar-dasar epistemologi ini perlu ada, karena kalau tidak, maka yang terjadi adalah; pertama, Makassar studies hanya meminjam analisis cultural studies. Bila ini terjadi, maka Makassar studies gagal menjalankan fungsinya, Makassar studies tidak menjadi sebagai cara pandang Makassar atas diri (the self), atas yang lain (the other), dan atas realitas yang melingkupinya. Dalam hal ini, berarti bahwa cultural studies-lah yang bekerja untuk menganalisis realitas Makassar. Implikasinya bahwa, Makassar studies menjadi ‘hamba’ dari teori cultural studies.

Kedua, karena kebutuhannya akan perangkat analisa cultural studies, maka para penggiat Makassar studies harus menguasai teori-teori dasarnya. Hal ini justru akan menjebak Makassar pada cultural studies yang sangat teoritik. Hal ini diakibatkan karena Makassar studies hanya bermain didalam sangkar analisis cultural studies dan tidak mampu keluar dan menemukan identitasnya sendiri.

Ketiga, ketika bangunan Makassar studies tergantung pada analisis cultural studies, maka Makassar studies gagal menjadi ruang untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu, justru Makassar malah menjadi objek kajian semata. Pada kondisi seperti ini Makassar tidaklah menjadi subjek atas dirinya sendiri, karena ia telah dijelaskan, dimaknai, dan didefinisikan oleh sesuatu diluar dirinya, yaitu cultural studies, dimana seharusnya Makassar studies-lah yang dapat menempati posisi tersebut. Makassar studies-lah yang seharusnya menempatkan diri sebagai penjelas, pemakna, dan pendefinisi atas diri Makassar, bukan cultural studies.

Apabila Makassar studies merupakan ruang bagi Makassar untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu tentang Makassar, maka Makassar studies merupakan wacana yang menarik dan perlu diapresiasi secara luas. Tapi bila wacana Makassar studies tidak mampu meletakkan dasar epistemologisnya sendiri, maka bisa saja wacana ini terjebak pada orientalisme gaya baru.Untuk menghindari hal tersebut, kita harus berani melakukan pemotongan genealogi teoritik--meskipun hal ini terkesan sangat sulit--terhadap cultural studies dan mendorong Makassar studies tidak hanya sebagai varian cultural studies spesial Kota Makassar dari pinggiran. Kita merindukan Makassar studies menjadi sebuah analisa yang memiliki keberpihakan penuh terhadap cara pandang orang Makassar dalam memproduksi penjelasan, makna dan definisi tentang berbagai hal dengan sudut pandangnya sendiri. Semoga.....

Tidak ada komentar: