01 Januari 2008

Menyusuri Proyek Modernisme

Auguste Comte (1798-1857) pernah meramalkan suatu tahap perkembangan akhir masyarakat, dimana modernisme sebagai gerakan pencerahan untuk menciptakan tata sosial baru menemukan jalan buntu tatkala memaksakan segalanya untuk masuk kesuatu tahap perkembangan akhir masyarakat tersebut. Auguste Comte menggunakan pendekatan atau logika kuantitatif untuk mereorganisasai kehidupan masyarakat (sosial) demi perbaikan umat. Kondisi modernitas melewati tiga tahap perkembangan yakni, pertama tahap teologis, berangkat dari perkembangan dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup. Kedua, tahap metafisis, berangkat dari penggunaan konsep-konsep abstrak, seperti kodrat, kehendak tuhan, roh absolut, tuntutan hati nurani dan kewajiban moral, yang berasal dari kebebasan akal budi, namun tidak memiliki dasar-dasar empirik yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan ketiga, tahap ilmiah/positif, menggunakan observasi, fenomena untuk menemukan hukum-hukum dinamis yang tampak oleh panca indera dengan menggunakan analisis akal sehat.

Logika kuantitatif yang berujung pada tahap ilmiah/positif tersebut, ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan/tatanan sosial. Dampak yang diakibatkannya yaitu, pertama bahwa kebutuhan manusia digiring pada –meminjam terminologinya Weber—“orientasi tujuan” sehingga masalah etika dan moral menjadi marginal. Kedua, harga diri dan martabat seseorang ditentukan oleh seberapa besar akses dan konstribusi ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa.

Dari penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya ada dua bentuk/arah kebutuhan manusia, yaitu pertama pada “orientasi tujuan” dan kedua pada “orientasi nilai”. Seseorang yang memiliki orientasi tujuan dalam hidupnya, dia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan berbagai macam cara agar segala hasrat dan tujuannya terpenuhi—bahkan tanpa mempedulikan lagi masalah etika dan moral. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki orientasi nilai dalam hidupnya, dia lebih menekankan pada sebuah “proses” dalam mencapai tujuannya. Dia lebih menikmati dan memaknai sebuah perjalanan yang berliku-liku tanpa harus melupakan tujuannya.

Sebagai contoh, setiap orang pasti pernah merasakan lapar. Nah, untuk memenuhi kebutuhannya/tujuannya, yaitu menghilangkan rasa lapar, seseorang dapat melakukan berbagai macam cara agar dia bisa menghilangkan rasa laparnya. Bagi orang yang memiliki orientasi tujuan, mereka akan lebih memilih membeli makanan atau masuk kesebuah restauran dan memuaskan hasratnya dan mengakhiri laparnya. Namun bagi orang yang memiliki orientasi nilai, dia akan lebih memilih untuk memasak sendiri atau dia lebih memilih makan makanan yang dibuatkan oleh ibu, istri atau anaknya. Orang yang seperti ini beranggapan bahwa ada sebuah kenikmatan, ada sebuah nilai lebih yang didapatkan saat dia memilih makan makanan yang dibuatnya sendiri atau makan makanan yang dibuat oleh ibu, istri atau anaknya--walaupun makanan yang ada hanyalah nasi putih + tahu-tempe + lombok tomat. Nilai lebih yang saya maksud pada konteks seperti ini adalah, bahwa orang yang memiliki orientasi nilai dapat merasakan adanya aroma cinta dan kasih sayang yang menjadi bumbu penyedap pada hidangan makanan yang dibuat oleh ibu, istri atau anaknya.

Berbeda halnya dengan orang yang memilih makan di warung makan atau di restauran. Dia hanya bisa merasakan enaknya makanan direstauran, tapi dia tidak dapat merasakan nikmatnya masakan seorang istri misalnya, dimana pada masakan tersebut ada sebuah kenikmatan tersendiri yang tentunya berasal dari aroma cinta dari seorang istri.

Contoh diatas adalah sebagian kecil dari realitas atau fenomena kehidupan yang dapat kita lihat sehari-hari. Masih banyak contoh lain yang dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa pada konteks kekinian, masyarakat lebih banyak yang memiliki orientasi tujuan dalam hidupnya dibandingkan dengan orang yang memiliki orientasi nilai dalam hidupnya. Budaya konsumerisme adalah contoh riil dari kehidupan yang berorientasi tujuan. Budaya konsumerisme merupakan kondisi yang diakibatkan oleh proyek modernisasi.

Selain menggiring manusia pada “orientasi tujuan”, proyek modernisme telah menciptakan sebuah paradigma, bahwa harga diri dan martabat seseorang ditentukan oleh seberapa besar akses dan konstribusi ekonomi dan industri yang dimiliki oleh orang atau bangsa. Paradigma seperti inilah yang menciptakan sekat yang sangat jauh dalam status sosial. Status sosial seorang pengusaha lebih tinggi dibandingkan dengan status seorang petani. Status sosial seorang dosen lebih tinggi dibanding status seorang guru ngaji. Status sosial seorang dokter yang memiliki keahlian dalam pengobatan lebih tinggi dari pada status seorang ibu yang dapat menyembuhkan sakit anaknya dengan cinta dan perhatiannya yang tulus.

Paradigma binerian inilah yang saat ini berkembang dikalangan masyarakat kita. Cobalah kita melihat dengan lebih teliti dan mendalam, bahwa ternyata tidak ada perbedaan yang mendasar antara seorang pengusaha dengan seorang petani, dosen dengan guru ngaji, dokter dengan ibu, dan lain sebagainya. Konstruksi budayalah yang menciptakan sekat-sekat dan kelas-kelas sosial antara seorang pengusaha dengan seorang petani, seorang dosen dengan guru ngaji, seorang dokter dengan seorang ibu, dan lain sebagainya. Mereka—pengusaha dan petani, dosen dan guru ngaji, dokter dan ibu, dan lain sebagainya--sama-sama manusia yang juga diciptakan dari tanah dan dilahirkan dari rahim seorang ibu. Dalam bahasa Al-Quran, bahwa yang membedakan antara pengusaha dengan petani, dosen dengan guru ngaji, dokter dengan ibu, dan lain sebagainya, hanyalah pada amal kebaikannya.

Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus meninggalkan dan membunuh modernisme? Jawabannya tidak. Kita tidak akan mungkin lepas dari cengkraman modernisme, bahkan kita juga membutuhkannya. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita mampu menginternalisasi akar tradisi kita masing-masing agar tetap melekat kuat pada diri kita masing-masing, dan bagaimana menemukan sintesa antara medernisme dengan akar tradisi kita, sehingga segala tindakan kita akan senantiasa kontekstual di zamannya.

Tidak ada komentar: