03 Januari 2008

Sebuah Cerita Tentang Pulau Tamalanrea

Suatu ketika, dimana aku merasakan kecemasan yang sangat, aku mencoba mendamaikan hati disebuah pantai. Kunaiki sebuah sampan kecil dan aku berbaring diatasnya. Semilir angin pantai merayu kelopak mataku dan akhirnya akupun tertidur.

Kicauan burung Nuri membangunkanku dan seketika itupun aku terperanjat di atas sampai kecil. Aku terdampar disebuah pulau. Sampan dan angin telah membawaku kesini, disebuah pulau yang tidak pernah aku kenali sebelumnya. Kucoba menurunkan kakiku dari sampan dan kujejakkan langkah demi langkah kebibir pantai. Takjub aku melihat pulau ini, pantai dengan pasir putih yang bersih dan indah. Yang memantulkan cahaya mentari dengan lembutnya. Akupun berlari diatasnya hingga rasa haus dan lapar mulai menyerang tenggorokan dan lambungku.

Akupun segera meninggalkan pantai dan menyusuri pohon-pohon kelapa yang rindang dan berbuah lebat. Kulepaskan rasa haus yang mendera dengan meminum air kelapa yang ternyata sangat manis dan segar. Setelah itu kulanjutkan perjalananku hingga akhirnya kudapati sebuah perkebunan kopi, daun teh dan kelapa sawit. Perkebunan ini tidak terlalu luas, namun bisa memenuhi kebutuhan manusia yang ada di pulau ini.

Di sebelah utara perkebunan ini kulihat hamparan padi yang bijinya sudah menguning. Di sebelah barat aku melihat berbagai sayur-sayuran hijau dan subur. Akupun memilih untuk berjalan kearah timur dimana disitu kudapati buah-buahan segar yang langsung kupetik dari tangkainya. Setelah lambung ini terasa penuh, akupun bersandar pada sebuah pohon apel. Dalam ketenangan itu hatiku mulai bertanya-tanya; siapa pemilik semua ini? Perkebunan kopi, daun teh, kelapa sawit, padi yang siap panen, sayuran yang subur dan hijau, buah-buahan ini!!!???

Pertanyaan-pertanyaan ini mendesakku untuk segera melangkahkan kaki tuk mencari jawabannya. Kutelusuri sebuah jalan kecil kearah timur.

Betapa terkejutnya aku melihat sebuah kota ditengah pulau ini, sebuah kota yang ramai dengan penduduk yang ramah. Para perempuannya banyak yang menggunakan jalabiah (jilbab besar) dan ada pula yang mengenakan cadar. Para laki-laki banyak yang mengenakan jubah dan ada pula yang mengenakan surban dikepalanya. Mungkin itu adalah pakaian kebanggaan penduduk dipulau ini.

Tak lama berselang, sekelompok orang menghampiriku, ternyata mereka adalah para pengabdi masyarakat yang bertugas untuk menjaga keamanan kota dan pulau tersebut. Mereka dikenal dengan sebutan Laskar Hijau-Hitam.

Dengan ramahnya Laskar Hijau-Hitam tersebut menyapaku dan menanyakan asal-usulku. Ternyata mereka memperhatikan penampilanku yang menggunakan baju kaos hitam dan celana jeans. Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya mereka memberiku sebuah jubah putih. Mereka memintaku untuk mengenakan jubah tersebut dan aku dibebaskan untuk mengunjungi semua tempat yang ada di pulau Tamalanrea ini dengan tetap memperhatikan dan mematuhi tradisi yang ada di pulau ini. Sejak inilah aku menyadari bahwa ternyata nama pulau ini adalah Pulau Tamalanrea.

Melihat seisi kota ini aku teringat dengan kota termegah didunia pada abad ke-8, yaitu kota Bagdad. Sebuah kota kosmopolitan yang besar dan berpenduduk dua juta orang dari berbagai bangsa. Kota yang dipenuhi gedung-gedung, masjid-masjid yang indah, serta istana yang besar dan megah.

Setelah berkeliling kota, aku mencoba memasuki sebuah gedung yang dikenal sebagai Perpustakaan Insan Mutamaddin. Insan mutamaddin adalah insan atau masyarakat yang berperadaban tinggi, dimana pada tingkat suprastruktur, terbangun bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Pada tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Dan pada tingkat struktur, tercapainya sebuah sistem, struktur, dan performa kenegaraan yang memenuhi hak-hak masyarakat yang bisaanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Didalam perpustakaan ini kudapati ribuah buku tertata rapi dan telah diklasifikasikan, mulai dari buku teologi, sosial, politik, budaya, seni, pendidikan, sampai buku-buku filsafat yang dikarang oleh tokoh-tokoh filsafat Islam maupun Barat.

Didalam perpustakaan ini pula aku menemukan polymath. Polymath adalah orang-orang jenius yang mampu menguasai beberapa bidang ilmu yang berbeda sekaligus. Dalam dunia islam kita mengenal Al-Khawarizmi yang menguasai ilmu Matematika (Algoritme, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan Geografi; Al-Kindi yang menguasai Filsafat, Matematika, Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik dan Metalurgi; Al-Farabi yang menguasai Ilmu Sosial, Logika, Filsafat, Ilmu Politik, dan ahli musik; Al-Razi yang menguasai Kedokteran, Ilmu Kimia, Astronomi; Al-Biruni yang menguasai Astronomi dan Matematika; Ibn Sina yang menguasai Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi; Al-Ghazali yang menguasai Sosiologi, Teologi dan Filsafat; Ibn Rusyd yang menguasai Filsafat, Teologi, Ilmu Hukum, Kedokteran dan Astronomi. Abn Khaldun yang menguasai Filsafat Sejarah, Sosiologi dan Ilmu Politik. Adapun polymath terkenal lainnya seperti Leonardo da Vinci, Isaac Newton, Adam Smith, Thomas Alfa Edison, Benjamin Franklin, Thomas Jefferson (presiden ke-3 Amerika), Winston Churchill (PM Inggris), dll.

Bukan hanya ribuan buku dan polymath yang aku temukan di Perpustakaan Insan Mutamaddin ini. Perpustaakaan ini juga dilengkapi sebuah ruang seminar dan laboratorium dengan peralatan yang cukup canggih.

Setelah mengelilingi Perpustakaan Insan Mutamaddin, aku mengunjungi sebuah Rumah Sakit yang bernama RS. Ulul Albab. Dalam Rumah Sakit ini, pasien dilayani oleh dokter-dokter ahli dengan metode kedokteran yang saintifik. Mereka ditempatkan dalam ruangan yang bersih dan nyaman. Para pasien yang masuk tidak perlu membayar apapun. Pemeriksaan dokter, obat, atau penginapan semua diberikan secara gratis. Ruangan-ruangan yang ada dipisahkan secara khusus berdasarkan penyakit. Ada ruang untuk penderita Hepatitis, penyakit Maag, ada ruang operasi, dan ada pula ruang untuk merawat yang sedang mengalami gangguan jiwa. Rumah Sakit ini dikengkapi pula perpustakaan yang berisi buku-buku kedokteran.

Setelah puas melihat-lihat isi rumah sakit, aku mengunjungi Istana Tamadduni di pusat kota. Istilah tamaddun lahir dari rahim intelektual muslim abad pertengahan. Tamaddun berasal dari akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti “kota” atau “peradaban”. Kata madany kemudian mengalami penambahan ta’ di awal dan tasydiid pada ”dal” untuk menguatkan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud dengan masyarakat tamadduni merupakan peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.

Di istana ini, aku dilayani selayaknya tamu istimewa. Setelah dihidangkan minuman dan makanan lengkap dengan buah-buahan, aku pun diajak kesebuah ruang pertemuan. Didalam ruangan itu aku berkenalan dengan Pemimpin Umum Istana, Keluarga Istana, Penasehat Istana, para Pimpinan Laskar Hijau-Hitam dan para Menteri Istana. Mereka semua ternyata orang yang memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan. Mereka memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa. Mereka adalah Intelektual-Akademisi yang bervisi sosial profetis yang cerdas secara akademik, bervisi profetis dan bernafaskan Islam serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan. Selain itu, mereka juga memiliki Jiwa Enterpreneurship, sehingga memiliki kemampuan ‘kewirausahaan’ dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya.

Setelah berkenalan, kami pun berdiskusi seputar rekayasa peradaban dan terkadang kami pun mendiskusikan tentang pemikiran tokoh-tokoh filsafat, mulai dari yang tradisionalis sampai posmodernis.

Setelah puas berdiskusi, raja meminta salah seorang pelayan istana untuk mengantarku kesebuah ruang untuk istirahat. Dengan mengucapkan salam, akupun mengikuti pelayan tersebut. Melihat kamar tidur istana yang indah dan nyaman membuat aku ingin segera melepaskan lelah di atasnya.

Suara azan subuh membangunkanku dari lelap tidur. Aku merasakan ada yang aneh, tempat tidur yang kugunakan terasa padat dan keras, bantal yang kugunakan pun terasa tipis, tanpa guling. Aku baru sadar, ternyata inilah tempat tidurku yang sesungguhnya. Pulau Tamalanrea hanyalah mimpi.

Setelah menunaikan shalat subuh, aku berdoa semoga mimpi yang aku alami dapat terulang kembali. Dalam harapanku yang terdalam, aku mendambakan mimpi yang baru saja aku alami tidak hanya sebatas mimpi belaka, namun bisa aku realisasikan dalam kehidupan yang nyata. Amin…

Tidak ada komentar: