02 Januari 2008

Merenungkan Kembali Makna Syahadat

Dalam Islam, kata syahadat selalu dikaitkan dengan kata Tauhid. Secara sederhana, syahadat dapat diartikan sebagai kesaksian atau penyaksian. Penyaksian selalu berangkat dari sebuah keyakinan, karena kita tidak akan pernah melakukan penyaksian apabila kita belum memiliki keyakinan. Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karena kita telah berangkat dari sebuah keyakinan bahwa hanyalah Allah satu-satunya zat yang maha atas segala sesuatu yang ada didunia ini. Adapun yang berpendapat dan mayakini tidak adanya Tuhan, itu adalah pilihannya. Percaya atau tidak dengan adanya Tuhan dan yakin atau tidak dengan adanya Tuhan, hal itu hanyalah persoalan keberpihakan, dan hal itu berada dalam ranah ideologis.

Syahadat memberi keyakinan dan kepastian. Syahadat juga merupakan dasar eksistensi kemanusiaan kita. Keyakinan dan kepastian merupakan suatu hal yang inhern dalam syahadat. Namun perlu diketahui bahwa syahadat akan berarti ketika ia bermakna. Syahadat bukan sekedar ucapan lisan, kata-kata, simbol, dan lain sebagainya. Syahadat adalah sesuatu yang jauh melampaui itu semua, syahadat harus diterapkan atau di praktekkan, dan dari praktek itulah kita akan menemukan makna, makna dari sebuah syahadat, makna yang tidak akan pernah mampu ditampung oleh ucapan, kata-kata, dan simbol.

Di dalam Al-Qur’an konsep syahadat merupakan bentuk dasar eksistensial kemanusiaan kita dan secara epistemologi, syahadat merupakan sebuah ikrar. Seperti apa syahadat dapat dijadikan sebagai dasar eksistensial kita? – mari kita telusuri bersama.

Sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan setan, jin dan malaikat yang semuanya pada waktu itu bertauhid kepada Allah. Setelah manusia (Adam) diciptakan, setan jadi kafir. Saat manusia akan diciptakan, setan protes, karena menurutnya, manusia hanya akan mendatangkan kerusakan. Allah mengatakan bahwa Aku (Allah) mengetahui segala sesuatu yang kalian tidak ketahui. Dalam Al-Quar’an dikatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Khalifah yang dimaksud disini jika manusia menunjukkan eksistensi Tuhan, seperti apa itu?

Dasar eksistensi manusia adalah ruh. Ruh adalah sesuatu yang murni dari zat Allah. Ruh inilah yang ditiupkan kedalam seonggok daging (dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan tanah) yang mati. Dan perlu diketahui bahwa sebelum ruh ditiupkan kedalam jasad, ruh telah melakukan ikrar (syahadat), bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Daging yang telah dititipi ruh inilah yang kemudian akan terlahir dari rahim ibu dalam sosok bayi mungil. Bayi yang lahir tersebut dilengkapi dengan ruh, yang dilengkapi dengan takdirnya masing-masing (kematian, jodoh, rezeki, dll), dan pada saat itu pula manusia telah memikul sebuah tanggungjawab sebagi khalifah.

Jadi, pada dasarnya manusia memiliki dua dimensi yang berbeda. Pertama adalah dimensi ilahiah yaitu ruh dan kedua adalah dimensi materil yaitu jasad (tanah). Dan didalam Al-Qur’an dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang hanif dan din (agama) adalah jalan Allah. Pada dasarnya din bukanlah agama, karena agama menunjukkan sesuatu yang banyak (banyak agama), sedangkan din menyatakan dirinya sendiri (tidak ada yang lain).

Ketika manusia terlahir, maka terjadilah tarik-menarik antara ruh yang suci dengan dimensi materil, sehingga lahirlah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah dimensi ketertarikan manusia terhadap aspek-aspek materil/duniawi. Dari adanya hawa nafsu, lahirlah keserakahan.

Pada awal kejadian manusia, ruh lah yang datang dan masuk kedalam jasad. Jadi, ruh yang suharusnya menjadi pemandu. Ketika melakukan sesuatu yang berlebihan, rohani memberikan sinyal berupa rasa cukup. Dia akan memberikan bisikan-bisikan ilahi. Pada saat itu sebenarnya syahadat yang bereaksi. Tapi jika kita tidak mampu melakukannya, maka hawa nafsu yang dominan dan akan menguasai diri kita.

Disinilah letak masalah diciptakannya manusia. Masalah itu ada setelah adanya manusia. Pada alam ini berlaku sunnatullah (para ilmuan mengatakan hukum alam) dan semuanya berjalan sesuai hukum alam. Masalah itu muncul, ketika manusia mencoba keluar dari lingkaran hukum-hukum Tuhan. Manusia menciptakan problem ketika manusia memperturutkan hawa nafsunya, yaitu bekerjanya tarikan-menarik yang bersifat materil/duniawi.

Ketika manusia mencoba untuk keluar dari lingkaran sunnatullah, maka pada saat itu sebenarnya syahadat teringkari. Inilah yang menyebabkan terjadinya desakralisasi, denaturalisasi, dan dehumanisasi. Desakralisasi terjadi karena dimensi ke-ilahi-an manusia tertutupi dan didominasi oleh dimensi duniawi/materil. Karena dimensi materil yang dominan, maka keserakahan pun muncul pada diri manusia. Pada saat inilah terjadi denaturalisasi, manusia melakukan pemerkosaan dan eksploitasi terhadap alam. Ketika manusia menjadi sumber masalah, artinya manusia gagal menjadi khalifah, dan pada saat itu pula terjadilah dehumanisasi. Manusia tidak hanya menjadi perusak alam, tapi juga menjadi perusak sesamanya. Jadi, pada saat kita gagal menjadi khalifah, maka syahadat menjadi batal.

Perlu ditekankan kembali bahwa syahadat hadir setelah lambang, kata-kata, dan simbol dimaknai. Syahadat tidak ada dalam ucapan, tapi ada pada tataran praktisnya. Jika kita melakukan segala sesuatunya atas landasan syahadat, sesuai dengan janji kita, maka kita telah berhasil bersaksi. Meskipun kita telah mati atau jasad kita hancur, ruh akan tetap hidup dan mempertanggungjawabkan syahadatnya. Jika ia kotor, ia akan dicuci oleh Allah. Adapun syarat agar bisa menjadi khalifah adalah dengan memadukan logika iman, logika rasional, dan logika empirik.

Syahadat adalah penjelasan eksistensi kita. Syahadat adalah manusia itu sendiri. Manusia adalah ketika rohani berhasil membimbing dirinya, maka pada saat itu dia berhasil menjadi khalifah. Tetaplah berada dalam hukum-hukum Tuhan. Takdir adalah ketentuan Tuhan atas kita. Takdir adalah misteri, dan dengan adanya misteri inilah kita tidak menjadi orang yang determinis. Kejarlah takdir, dan itulah yang akan menjelma menjadi ikhtiar.[Hzr]

Tidak ada komentar: