08 Januari 2008

Simbolitas Tubuh dan Ekspresi Seksualitas

Ketika tubuh hadir dihadapan khalayak, maka aspek seksualitas akan ikut menari didalamnya. Seksualitas tidak akan membiarkan tubuh berbicara sendiri, ia (seksualitas) senantiasa ambil bagian dalam setiap geliat tubuh. Tubuh telah menjadi penanda penting bagi seksualitas dalam mengekspresikan dirinya.

Tubuh dan seksualitas berada dalam tarik menarik yang kompleks. Ia dibahas dan diterapkan dengan ambiguitas yang rumit pula. Di satu sisi, ia dipandang dengan kacamata tata nilai, norma, dan simbol-simbol tertentu yang abstrak dan penuh dengan sekat-sekat kebenaran, sehingga terciptalah dikotomi hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, halal-haram, dan lain sebagainya. Disisi lain, tubuh dan seksualitas mewujud dalam bentuk-bentuk yang telanjang dan sensasional sehingga dapat dinikmati dengan begitu bebas dan terbuka di setiap sudut kehidupan masyarakat.

Tubuh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, namun telah melekat atau dilekati oleh berbagai identitas tertentu. Tubuh bukanlah sebuah satuan tulang dan daging belaka, namun telah menjelma jejaring yang menyimpan berbagai simbol dan makna.

Tubuh sebagai penjara jiwa
Diskursus tentang tubuh sebagai penjara jiwa telah lama meresahkan para pemikir-pemikir Yunani kuno. Meraka mencoba mengungkap makna tubuh, dimana pada masa itu ada sebuah aliran yang didirikan oleh Orpheus yang mengatakan bahwa “tubuh adalah kuburan bagi jiwa” (the body is the tomb of the soul). Bahkan anggapan tersebut mengilhami filsafat para filosof seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Namun, pandangan para pemikir Yunani kuno tersebut berbeda dengan para pemikir Romawi yang sangat percaya dengan astrologi. Mereka tidak menganggap tubuh adalah sesuatu yang negatif, namun memandang tubuh dan jiwa sebagai bagian dari kosmis.

Pada masa renaisans, pemahaman tentang tubuh mulai bergeser. Tubuh dianggap sebagai sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler. Pada masa pramodern, tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Dan pada konteks kekinian, perbincangan mengenai tubuh masih tetap hangat untuk di diskusikan. Dualisme antara jiwa dan tubuh masih menunjukkan keangkuhannya, menyeret kita pada pemahaman yang lebih kompleks, sehingga semakin sulit untuk dipahami dan dimengerti. Saat ini tubuh tidak lagi berbicara tentang fisik, namun tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.[1]

Mary Douglas dalam bukunya Purity and Danger (1996) mengatakan, bahwa sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu. Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Tidak ketinggalan, Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga, yaitu: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam, masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.[2]

Untuk memahami tentang jiwa lebih jauh, psikoanalisis[3] Sigmund Freud bisa kita gunakan sebagai pisau analisis untuk membedahnya. Dengan demikian kita akan mampu menemukan relevansi antara tubuh dan jiwa (seksualitas) dan juga menemukan makna tubuh dalam konteks psikoanalisis.

Perkembangan tubuh; Perkembangan seksualitas
Secara sederhana, tubuh mengalami beberapa tahap pertumbuhan, mulai dari bayi, anak-anak, hingga dewasa. Sejalan dengan perkembangan tubuh, seksualitas pun mengalami masa pertumbuhan atau pendewasaan. Selama ini mungkin kita memahami bahwa perkembangan seksualitas dimulai pada masa puber, namun pada dasarnya perkembangan seksualitas sudah dimulai sejak kanak-kanak (bayi).

Seksualitas masa bayi, telah ada jauh sebelum organ-organ kelamin mendominasi kehidupan seksual; atau dengan kata lain, seksualitas masa bayi adalah satu elemen penting dari “tatanan pragenital” dari libido. Seksualitas seperti ini juga melibatkan bagian-bagian tubuh, atau disebut libido sebagai “zona erotogenik” yang bisa menjadi wadah bagi eksitasi-eksitasi yang menyenangkan. Zona-zona seperti ini bisa berasa di bagian-bagian kulit tertentu, atau pada selaput lendir yang mampu memberikan sumber kepuasan atau kesenangan. Seorang anak melewati tahap-tahap yang saling meliputi satu sama lain, dimana secara berurutan suatu zona erotogenik pertama mendominasi dan kemudian digantikan oleh zona lainnya[4]. Fase-fase seksualitas yang dilewati pada masa kanak-kanak adalah fase oral[5], fase anal[6], dan fase phallic[7].

Setelah fase oral, anal dan phallic, ada sebuah fase berikutnya yang juga merupakan bagian dari tahap perkembangan seksualitas, yaitu kompleks aedipus atau aedipus complex, dan kemudian fase laten. Sesudah berakhirnya masa laten, kehidupan seksual maju sekali lagi bersama dengan masa remaja (puber), atau dapat kita katakan kehidupan seksual mengalami pemekaran yang kedua. Disini kita menjumpai fakta bahwa permulaan kehidupan seksual itu dwifase, bahwa kehidupan seksual terjadi dalam dua gelombang—sesuatu yang tidak diketahui, kecuali pada manusia, dan jelas mempunyai pengaruh yang penting pada hominisasi[8].

Dari keterangan diatas kita dapat memahami bahwa tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang menyatu, namun kita juga perlu curiga atas pandangan tersebut karena kita belum bisa mengungkap dengan gamblang, apakah perkembangan tubuh yang mempengaruhi perkembangan seksualitas ataukah sebaliknya, perkembangan seksualitas yang sebenarnya mempengaruhi perkembangan tubuh.

Ekspresi tubuh; Ekspresi seksualitas
Ungkapan Mary Douglas yang mengatakan bahwa sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu, perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mengantarkan kita pada jawaban, apakah seksualitas adalah ekspresi tubuh ataukah tubuh yang merupakan ekspresi dari seksualitas? Untuk menjawabnya, mungkin kita perlu mengkaji terlebih dahulu fenomena yang ada disekeliling kita.

Sebagai contoh, saat kita melihat sosok dari lawan jenis (entah itu laki-laki yang memandang sosok perempuan, ataupun perempuan yang memandang sosok laki-laki --lebih-lebih pada sebuah “ketelanjangan”), dalam kondisi seperti itu, aspek apa sebenarnya yang bermain? Apakah ia lahir dari aspek fisik ataukah ini berasal dari aspek mental yang bersembunyi di dalam tubuh dan meronta ingin menampakkan wajahnya!
F. Budi Hardiman dalam salahsatu esainya pernah mengajukan sebuah pertanyaan, apakah sebenarnya yang dilihat oleh seorang pecinta pada tubuh kekasihnya saat mereka bercinta? Dia menjelaskan bahwa

Pandangan atas tubuh yang dihasrati, entah berselubung ataupun telanjang, adalah suatu persepsi akan bentuk. Tubuh itu adalah bentuk yang hadir, seperti setiap bentuk lainnya di dunia ini. Namun, sesungguhnya bukanlah bentuk yang ia lihat, melainkan suatu kehadiran, kehadiran dari seorang manusia dari jenis yang lain yang membuatnya merasa menyeluruh. Sebuah pelukan penuh hasrat pada tubuh itu segera mengubah kehadiran menjadi seonggok materi yang memadati ruang yang terbentuk dalam jangkauan lengan.

Perlahan persepsi atas materi berubah menjadi pelukan kehadiran, manakala disadari bahwa setiap fragmen ruang tubuh itu dari mata, bibir, payudara, sampai pada vulvanya mengacu pada suatu tubuh sebagai suatu keutuhan yang menyeluruh dan keseluruhan yang utuh. Tubuh pun berhenti sebagai bentuk. Batas-batas geometrisnya raib ketika tubuh itu tersebar oleh isapan hasrat keduanya. Dalam denyut gairah yang memuncak, tubuh yang satu lumat ke dalam tubuh yang lain dan memulihkan diri menjadi samudra sensasi. Sebuah pandangan erotis adalah suatu hasrat pengutuhan dengan siapa yang dipandangnya.

Anggapan bahwa erotik itu identik dengan seks sangatlah meragukan. Tentang erotik Octavio Paz menulis begini: "Manusia melihat dirinya dalam seksualitas. Erotik adalah pantulan penglihatan manusia dalam cermin alam…. Erotik adalah tiruan belaka atas seksualitas: Ia adalah metafora seksualitas…. Yang erotis itu imajiner: Percikan imajinasi di hadapan dunia luar. Apa yang ditangkap oleh erotik adalah manusia sendiri, dalam bidang citranya, dalam bidang kediriannya...

Manusia makan tidak dengan mencaplok, tetapi dengan menyantap, dan santapan berlangsung lewat lika-liku seremonial dan ritual yang-entah sederhana ataupun rumit-memuaskan bukan hanya rasa lapar, melainkan juga kebutuhan untuk bersosialisasi dan untuk mewujudkan suatu nilai. Demikian juga erotik adalah sebuah upacara-bukan upacara publik, melainkan upacara interpersonal dalam ruang intim. Paz menyebutnya "suatu seremoni yang berlangsung di belakang punggung masyarakat". Erotik juga tidak sama dengan cinta yang cakupannya melampaui erotik, namun leluhur tertua dari keduanya adalah seks.

Ciri "lebih" yang bersemayam dalam erotik itulah yang memanusiawikan seksualitas. Dan karena manusia itu naluriah sekaligus melampaui naluri, erotik juga bukan sekadar pemuasan hasrat seksual. Penangguhan hasrat ragawi yang meronta-ronta untuk dilepaskan kerap memberi percikan erotis pada tubuh yang memikul beban gairahnya sendiri. Karena itu, erotik juga sebuah permainan gairah dalam rumah imajinasi. Penangguhan pelepasan hasrat dan pengabulannya, pencapaian kepuasan dan munculnya gairah baru-lingkaran hasrat akan tubuh yang ingin dinikmatinya itu tak habis-habisnya menghasilkan dahaga baru.

Rasa kekurangan ini dipicu oleh imajinasi yang silih berganti masuk melalui tatapan erotis pada "yang lebih". Dia-tubuh sang kekasih dan tatapan matanya ke dalam jendela jiwa sang penatap-adalah lebih daripada onggokan materi. Erotik adalah lebih daripada sekadar interseksi hormonal. Ia adalah interseksi personal dalam ruang intim yang tercipta oleh pengalaman kebertubuhan. Interseksi personal itu dalam erotik tidak "menghabisi" keduanya, sehingga "yang lebih" terus saja muncul menimbulkan dahaga.[9]

Dari penjelasan diatas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan awal bahwa ternyata, tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang utuh, ia tidak terpisahkan dan tidak dapat dipisahkan. Tubuh menyimpan pusaran erotis yang mampu memicu gelora hasrat. Tubuh dapat mengenal dirinya dalam seksualitas, dan seksualitas adalah sesuatu yang manusiawi.

Didalam tubuh tersembunyi sebuah kekuatan (hasrat seksual) yang penuh misteri dan sulit untuk diketahui besarnya kekuatan tersebut secara matematis, karena kekuatan itu hanya dapat dirasakan, ia adalah pengalaman pribadi seseorang. Ekspresi tubuh adalah ekspresi seksualitas, tubuh adalah ruang bagi seksualitas untuk mengekspresikan dirinya.

Namun, dari manakah datangnya hasrat seksual? Apakah ia adalah fitrah dan anugerah yang diberikan Tuhan pada ciptaannya yang bernama manusia? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Jawaban bahwa hasrat adalah fitrah dan anugerah yang diberikan Tuhan pada manusia adalah jawaban yang hampa bagi sekelompok orang yang suka “bertanya” dan tidak mudah puas.

Pada diri manusia ada aspek mental dari energi seksual yang mendasari berbagai perubahan dalam dorongan seksual, yang kita kenal dengan istilah libido[10]. Libido dalam pandangan Freud juga berkaitan dengan sifat cinta dan keinginan, atau nafsu dan hasrat seksual, dan disini, Freud beralih dari pertimbangan-pertimbangan ilmiah murni menuju bidang emosi manusia yang cukup sulit. Seperti yang ditulisnya,

Libido adalah ekspresi yang diambil dari teori tentang emosi. Kami menamakannya sebagai energi, yang dianggap sebagai suatu besaran kuantitatif (meskipun saat ini belum bisa diukur), dari dorongan-dorongan yang berkaitan dengan segala sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan menggunakan kata “cinta”.[11]

Sederhananya, kita berbicara tentang “rasa lapar” terhadap dorongan-dorongan untuk memperoleh makanan, demikian juga dengan dorongan-dorongan seksual, kita bisa berbicara tentang libido atau “kelaparan seksual”.
Hasrat seksual sangat dipengaruhi oleh permainan persepsi kita akan bentuk (tubuh). Setiap individu memiliki persepsi akan bentuk (tubuh) yang berbeda-berbeda, hal ini sangat dipengaruhi oleh konteks ruang-waktu yang melingkupi dan mengkonstruk pikirannya. Persepsi akan tubuh, bagi orang-orang metropolis (modern) tentu berbeda dengan persepsi orang-orang pedalaman[12] (orang-orang primitif—dalam definisi orang modern) yang belum dipengaruhi oleh efek modernis.

Saya belum mengetahui banyak seperti apa sebenarnya persepsi orang-orang pedalaman akan tubuh. Bagaimana persepsi mereka tentang cantik atau gagah? Apakah hasrat seksual mereka akan bergejolak saat mereka melihat tubuh yang “terbuka”? Bagaimana reaksi mereka saat melihat Inul yang sedang berjoget atau diperlihatkan foto-foto artis yang “telanjang”? Entahlah! Namun sejauh pengetahuan saya, walaupun orang-orang pedalaman tidak menggunakan baju atau sesuatu yang menutupi seluruh tubuhnya, namun mereka masih menutupi bagian-bagian tubuh tertentu. Bagian-bagian tubuh tertentu yang ditutupi itulah yang saya curigai mampu mempengaruhi hasrat seksual mereka.

Bagi orang-orang metropolis (modern), persepsi mereka akan tubuh adalah seksual. Bagian-bagian tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung jari bisa mempengaruhi hasrat seksual seseorang. Ditambah lagi dengan pesatnya teknologi informasi, membuat persepsi kita akan tubuh yang pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya personal menjadi sesuatu yang massal. Teknologi informasi dengan seketika mampu memainkan imajinasi dan menyatukan definisi cantik atau gagah.

Setelah bosan—dengan tidak mengabaikan adanya sebuah kuasa yang bermain dibelakangnya—tenologi informasi menjadi alat untuk menggeser dan mengganti definisi cantik atau gagah. Hal inilah yang berpengaruh cukup besar atas bergesernya persepsi kita akan tubuh (walaupun masih ada sebagian orang yang tidak terpengaruh—atau mungkin pura-pura tidak terpengaruh—atas persepsi orang banyak tentang tubuh, dia memiliki persepsi tersendiri akan tubuh yang berbeda dengan orang kebanyakan). Namun yang pasti, apapun persepsi kita akan tubuh, selalu saja tubuh (seluruh atau beberapa bagian tubuh) menjadi simbol seksualitas.

Seksualitas, Ke-mati-an Tabu dan Moralitas
Dalam hubungannya dengan alam, masyarakat dan kebudayaan, dan juga hubungannya sebagai kontrol sosial dan politik, seksualitas ditempatkan pada posisi yang cukup penting. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat dan merasakan adanya berbagai larangan yang membatasi ruang gerak tubuh. Pada dasarnya bukan ruang gerak tubuh yang dibatasi namun ekspresi seksualitas lah yang dibatasi. Mengapa ekspresi seksualitas perlu dibatasi? Hal ini sangat dipengaruhi oleh sebuah sistem purba namun masih disakralkan oleh beberapa suku atau bangsa hingga saat ini, sistem itu kita kenal dengan istilah tabu.

Tabu adalah larangan yang sangat kuno yang pada suatu ketika diberlakukan pada suatu generasi masyarakat primitif dan larangan ini tanpa asal, mungkin generasi yang sebelumnya yang memberlakukan larangan ini atas mereka. Larangan ini berkenaan dengan tindakan-tindakan yang mengandung keinginan yang kuat. Larangan ini terus hidup dan mempertahankan dirinya dari generasi ke generasi, mungkin ia akibat tradisi yang disusun oleh satu penguasa paternal dan sosial. Tetapi, pada generasi berikutnya, mungkin larangan ini telah “terorganisir” mengkaji suatu kualitas psikis yang diwariskan.

Apakah memang ada “gagasan-gagasan bawaan” atau apakah fiksasi tabu ini terjadi dengan sendirinya atau dengan jalan pendidikan, dalam kasus ini tidak ada satu orang pun yang tahu. Meskipun demikian, kenyataan bahwa tabu itu terus hidup menunjukkan satu hal, yaitu bahwa kenikmatan asali untuk melakukan hal-hal yang terlarang itu masih terus berlangsung dikalangan bangsa-bangsa yang menganut tabu. Jadi, mereka memiliki sikap ambivalen terhadap larangan tabu mereka sendiri; di alam ketaksadaran, mereka sangat suka melanggarnya, tetapi mereka juga takut melakukannya; mereka takut karena mereka ingin melanggarnya, dan rasa takut itu lebih kuat dari pada kenikmatan.

Tetapi, dalam diri setiap orang di bangsa itu, keinginan terhadap hal yang dilarang itu bersifat taksadar, seperti dalam diri seorang neurotik. Larangan tabu yang paling tua dan penting adalah dua hukum dasar totemisme: yaitu jangan membunuh binatang totem, dan hindari hubungan badan dengan lawan jenis dari kelompok totem yang lain[13].

Indikasi terhadap dorongan untuk melanggar tabu atau melakukan inses, mulai dapat kita rasakan dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Kita sering mendengar ada anak yang memperkosa ibunya dan ada ayah yang memperkosa anak gadisnya, itu baru yang terungkap oleh media, bagaimana dengan yang tidak! Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa dibalik adanya “ketertutupan” (larangan yang kuat), ada sebuah dorongan untuk “memberontak” (melanggar larangan). Semakin kuat “ketertutupan” maka semakin kuat pula potensi “pemberontakan”. Apakah ini juga mengindikasikan bahwa tabu telah menemui ajalnya, tabu telah mati.
Jika tabu telah mati, bagaimana nasip moralitas! Apakah moralitas akan mati seiring dengan kematian tabu? Jawabannya TIDAK. Moralitas atau etika lahir dari refleksi tentang seksualitas, keinginan serta kenikmatan. Dalam tindakan seksual seseorang manusia menyadari diri sebagai makhluk seksual. Disana dia juga menyadari relasi dengan orang lain. Lebih dari itu dalam setiap praktik seksual seseorang manusia sebenarnya membentuk suatu sikap seksual, yaitu kesadaran akan kebebasan, tanggungjawab dan pilihan moral, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Seks adalah satu soal privat dan dapat menyadarkan setiap individu akan siapakah dia, apa yang dia buat dan sejauh mana ia memiliki keinginan dan nafsu. Dalam kesadaran ini kita tidak pernah akan menipu diri kita dalam pelbagai praktik seksual kita.

Dalam pandangan Yunani Klasik, seks bukannya sesuatu yang buruk sebagaimana paham agama kristen pada masa lalu. Seks adalah sesuatu yang natural, baik dan mendatangkan kenikmatan (pleasure) dan ini sangat perlu dalam praktik diri. Bagi mereka praktik seksual tidak ditempatkan dalam konteks universal. Setiap individu harus menentukan pola objek dan praktik seksual mereka sendiri.

Dalam kebudayaan ini kenikmatan seksual dan aktivitas seksual menjadi perhatian moral lebih dari pelbagai isu lain karena seks adalah objek dari pelbagai larangan dan pelanggaran terhadapnya bisa sangat berbahaya. Jelas seksualitas penuh dengan nuansa etis-moral. Immoralitas dalam seks tampak bukan dalam seks itu sendiri, melainkan dalam pasivitas dan ekses dalam praktik-praktiknya[14].

Seks sebagai urusan kelamin tak pernah kehabisan atau kehilangan daya sensasionalnya bagi siapa pun dan di zaman apa pun. Selalu ada saja perkembangan-perkembangan baru dalam fenomena seks sebuah masyarakat, meski sexual act yang mendasar sebenarnya hanya begitu-begitu saja. Tapi memang manusia seluruhnya adalah seksual. Seluruh tingkah lakunya selalu diresapi oleh identitas seksnya, yakni gradasi kelelakian (jika ia lelaki) atau keperempuannya (jika ia perempuan).

Implikasinya kemudian adalah terjalinnya korelasi secara otomatis antara seksualitas dengan serangkaian konteks sosial yang melingkupimya. Seks pun lalu jadi sebuah fenomena yang multidimensional, dan hal inilah yang membuat seks menjadi potensial untuk “bercerita” dan mengungkap tentang sosok manusia. Karenanya, mempelajari fenomena seks adalah mempelajari fenomena manusia seutuhnya[15].

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa persoalan tentang praktik seksual tidak bisa ditempatkan dalam konteks universal, ada sebuah tradisi dan kebudayaan dari masing-masing lokalitas tertentu yang melingkupi dimana tubuh (manusia) memijakkan kakinya. Sehingga, setiap individu harus menentukan pola objek dan praktik seksual mereka sendiri sesuai dengan tradisi dan kebudayaan yang dianutnya.

Semoga kita senantiasa mampu menjaga moralitas dengan selalu melakukan reflesi diri, sehingga kita selalu sadar bahwa kita adalah makhluk seksual yang mau tidak mau juga harus membangun relasi dengan orang lain. Relasi-relasi inilah yang kita harapkan akan membangun moralitas. Sebuah moralitas yang menjaga keseimbangan antara alam, masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, tubuh dan seksualitas tidak menjadi momok yang menakutkan, namun dapat dijadikan sebagai kontrol sosial-politik [@]


Catatan Kaki
---------------

  1. Lazuardi. Luna, Studi Tubuh, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
  2. Lazuardi. Luna, ibid, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
  3. Freud menciptakan istilah psikoanalisis pada tahun 1896 sesudah perjuangan lama menggarap gagasan-gagasannya tentang sebab musabab neurosis dan gangguan-gangguan mental lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa psikoanalisis secara kasar terdiri dari tiga bidang, yaitu : a.) Suatu cara terapi yang bertujuan untuk meringankan beban batin orang, berdasarkan pada teori-teori tentang alam tak sadar dan penafsirannya; b.) Suatu teori menyeluruh tentang bagaimana kepribadian manusia berkembang dan berfungsi; c.) Seperangkat teori tentang bagaimana manusia dan masyarakat berfungsi, atas dasar dua bidang di atas untuk memahami peradaban. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  4. Kennedy, Roger. Libido; Seri Gagasan Psikoanalisis. Hal. 44. Penerbit: Pohon Sukma, Cetakan I, April 2003. Yogyakarta.
  5. Dalam perkembangan ini fase awal berpusat di sekitar mulut. Kita perlu melihat bagaimana daerah erotogenik ini terbentuk. Pertama-tama,daerah ini berkaitan erat dengan fungsi somatis yang vital, yaitu menyusui. Kemudian timbul perasaan senang dengan daerah itu. Selanjutnya, muncul kebutuhan untuk mengulangi perasaan senang atau keinginan itu. Menyusu buah dada ibu merupakan titik awal seluruh kehidupan seksual. Buah dada adalah objek cinta yang pertama. Kesenangan awal itu mempunyai bermacam-macam bentuk. Mengisap ibu jari. Menurut Freud, adalah contoh kegiatan seksual kanak-kanak yang paling sederhana dan dini. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  6. Kesenangan anal yang paling sederhana adalah mengosongkan isi perut atau “membuat angka 2”, kata para ilmuan. Anak dapat memperoleh kepuasan dengan melakukan perbuatan itu bagi orang tuanya, dengan memberi mereka suatu hadiah atau menahannya jika jika tidak mau memberikan hadiah itu. Tindakan menahan ini dapat menjadi fiksasi, suatu karakter bercorak anal, dan hubungan antara uang dan tinja telah kerap kali dilihat. Menahan hadiah atau memberikannya menjadi bercampur dengan perasaan-perasaan mengenai ibu dan bapak. Dan jika seluruh urusan tidak ditangani dengan semmestinya, orang dapat terhenti pada perilaku anal ini (ungkapan Inggris tight-arsed adalah tepat dari segi psikoanalisis untuk melukiskan orang yamng kikir). Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.Ini adalah fase ketika anak menjadi sadar akan daerah genitalnya (alat kelaminnya) setelah beralih dari fase oral dan fase anal. Freud menyatakan bahwa anak hanya mengetahui satu organ genital, yaitu phallus (zakar), dan dengan demikian anak laki-laki dan anak perempuan berlawanan dalam arti ber-phallus atau terkebiri. Anak laki-laki dan anak perempuan kerap kali tampak menyujai fase phallic ini. Mereka bermain secara krestif dengan diri mereka sendiri dan saling memandang. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  7. Baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
  8. Hardiman, Budi, F. Dahaga akan yang lebih. Kompas, 2 Juni 2004.
  9. Libido dalam teori Freud tentang dorongan-dorongan seksual merupakan suatu konsep “kuantitatif”, yang mengacu pada jumlah hipotetis dari energi seksual yang memotifasi dorongan-dorongan seksual, sekaligus suatu pandangan “kualitatif”, yang berarti bahwa libido secara khusus berkaitan dengan energi mental dalam artian umum. Libido merupakan sebuah konsep ilmiah yang berada di “perbatasan” antara bidang mental dan somatis; ia adalah suatu kesatuan psikis, namun mengacu pada fenomena ragawi. Lebih jelasnya, baca: Kennedy, Roger. Libido; Seri Gagasan Psikoanalisis. Penerbit: Pohon Sukma, Cetakan I, April 2003. Yogyakarta.
  10. Freud, S., “Group Psychologhy and the Analysis of the Ego” (1921), SE, vol. XVIII, hkm. 90.
  11. Saya munggunakan kata pedalaman untuk mengganti kata primitif.
  12. Freud, Sigmund. Totem dan Tabu. Hal 53. penerbit Jendela, cetakan kedua, Yogyakarta, 2002.
  13. Kebung, Konred. Kembalinya Moral Melalui Seks. Basis, hal 39, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
  14. Gunawan, Rudi dan Joko Suyono, Seno. Wild Realiti; Refleksi Kelamin dan Sejarah Pornografi. Hal. 3. Penerbit: Gagas Media, 2003, Jakarta.

Tidak ada komentar: