07 Januari 2008

Mandegnya Gerakan Ke-[Mahasiswa]-an

(Upaya Mengembangkan Gerakan Mahasiswa Berbasis Keilmuan)


Muhammad Hatta (1979) pernah mengatakan bahwa kaum intelegensia Indonesia mempunyai tanggungjawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam pimpinan Negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggungjawab itu. Sekalipun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.

Olehnya itu, mahasiswa memiliki tanggungjawab moral untuk selalu memberikan peringatan kepada para pemegang kekuasaan apabila melakukan menyimpangan dan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Mahasiswa telah mengukir sejarah panjang dalam menjalankan tanggungjawab moralnya sebagai kaum intelegensia.

Namun dalam konteks kekinian, gerakan kemahasiswaan mengalami sebuah kegamangan dalam melakukan misi-misi pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan (atau lebih tepatnya kaum yang dilemahkan dan dipinggirkan). Gerakan kemahasiswaan seakan dikebiri dan ditaklukkan oleh berbagai bentuk kebijakan—baik kebijakan negara maupun kebijakan birokrasi kampus--yang sengaja dikeluarkan untuk melemahkan gerakan kemahasiswaan. Sebagai contoh, diterapkannya konsep BHP di beberapa Perguruan Tinggi Negeri.

Kita perlu curiga bahwa ada sebuah kekuatan besar yang bermain dibelakang semua kebijakan-kebijakan tersebut dimana kebijakan-kebijakan tersebut bermuara pada sebuah tujuan untuk melemahkan gerakan mahasiswa. Basis gerakan mahasiswa ada di kampus, olehnya itu untuk melemahkan gerakan kemahasiswaan maka yang dilakukan oleh para penguasa adalah mengeluarkan berbagai kebijakan di tingkat Perguruan Tinggi. Sedikit saja mahasiswa melakukan perlawanan terhadap kebijakan borokrasi kampus, maka siap-siap saja mendapatkan sangsi (baik itu berupa surat scorsing atau pun surat DO). Sungguh menyedihkan dan menyakitkan!

Akhir Sejarah Gerakan Kemahasiswaan
Salah satu kekuatan kapitalisme sehingga pada detik ini kekuatannya tidak mampu diruntuhkan adalah adanya kemampuan reformasi diri yang dimiliki oleh kapitalisme, sehingga segala bentuk perlawanan yang menyerangnya selalu mampu dimodifikasi dan diinkorporasi.

Fenomena seperti ini pula yang di alami oleh gerakan kemahasiswaan. Segala bentuk perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa selalu dapat dipatahkan dengan berbagai cara. Kita harus akui bahwa media informasi saat ini dikuasai oleh penguasa, sehingga segala bentuk perlawanan opini yang dilakukan oleh mahasiswa selalu dibelokkan, yang lebih tampak pada aksi-aksi mahasiswa adalah kekerasan mahasiswa, bukan nilai atau pendidikan politiknya. Akibatnya, rakyat justru bersikap antipati terhadap gerakan kemahasiswaan.

Fenomena di dalam kampus misalnya dengan diterapkannya NKK-BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus – Badan Koordinasi Kampus) dan saat ini mulai diterapkan BHP (Badan Hukum Pendidikan). Konsep NKK-BKK saja sudah melemahkan gerakan kemahasiswaan dengan adanya sistem DO, apalagi dengan adanya privatisasi kampus (Konsep BHP) yang ujung-ujungnya akan menyeret kampus-kampus negeri menjadi kampus-kampus swasta. Inilah yang kita namakan swastanisasi kampus negeri. Akibatnya, hal ini akan berimbas pada mahasiswa, misalnya saja semakin tingginya biaya perkuliahan sehingga akan menyeret paradigma mahasiswa menjadi akademic ansic. Mahasiswa akan kehilangan daya kritisnya karena waktu mereka dihabiskan hanya untuk memikirkan bagaimana caranya cepat selesai kuliah dan tidak berpikir lagi untuk berorganisasi dan menambah kapasistas intelektualnya, sehingga tanggungjawab moral intelengensia menjadi terabaikan.

Apabila gerakan kemahasiswaan tidak mampu mengatasi problematika diatas, maka tamatlah riwayat gerakan kemahasiswaan. Inilah akhir sejarah panjang gerakan kemahasiswaan. Namun bila kita masih ingin mengukir sejarah kemahasiswaan, maka teruslah melakukan perubahan dan perlawanan.

Basis Keilmuan; Sebuah Tawaran Solusi
Gerakan mahasiswa berbasis keilmuan tetap ditujukan untuk membangun sebuah komunitas masyarakat pro-perubahan yang akan mengusung revolusi sistemik demi terciptanya masyarakat yang beradab. Gerakan ini menjadikan intellectuality sebagai instrument perjuangannya.

Olehnya itu, untuk mewujudkan intellectuality agar dapat bermanfaat bagi gerakan, maka peranan dan fungsi-fungsi gerakan intelektual harus dikembangkan dari paradigma epistemologis menjadi konsep yang berbasis gerakan keilmuan. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan dekonstruksi sistem pemikiran sekuler yang berkembang diperguruan tinggi sekaligus melakukan rekonstruksi gerakan ke-arah pemikiran-pemikiran keilmuan (Cahyo Pamungkas, 2005).

Secara sederhana, rekonstruksi gerakan dilakukan dengan menggeser paradigma gerakan kemahasiswaan. Pergeseran paradigma gerakan ini meliputi beberapa hal. Pertama, Paradigma Oposisi Total harus digeser menjadi Kritis-Konstruktif. Dalam mengartikulasikan kepentingan eksternal lembaga kemahasiswaan ditempuh melalui jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga politik resmi seperti birokrasi, legislatif dan lain sebagainya.

Proses demokrasi yang berjalan memungkinkan terjadinya dialog antara gerakan rakyat dengan aktor-aktor institusi Negara yang pro-reformasi. Hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan kooptasi Negara tetapi menjadi penekan kebijakan agar Negara mampu mengakomodasi kepentingan rakyat (Cahyo Pamungkas, 2005).

Ini berarti bahwa aksi massa hanya akan dilakukan untuk isu-isu yang betul-betul sangat penting. Olehnya itu mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan. Pada wilayah ini, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa.

Kedua, Gerakan Intelektual mahasiswa di wilayah Epistemologis digeser ke wilayah Akademis. Gerakan intelektual diwilayah Epistemologis harus dikembangkan sampai kewilayah Akademis, sehingga mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis. Ini berarti bahwa ide dan gagasan intelektual mahasiswa bersentuhan langsung dengan masyarakat akademis (kampus). Untuk itu perlu dibangun Intelektual-Akademisi yang bervisi sosial profetis. Pada wilayah ini mahasiswa harus cerdas secara akademik, bervisi profetis, serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan

Ketiga, Ketergantungan Finansial digeser menjadi Mandiri dan Independen. Pada konteks ini, lembaga kemahasiswaan membangun kemandirian dalam hal perumusan ide dan gagasan (independensi secara sosial politik) dan kemandirian keuangan (independensi secara sosial ekonomi). Ini berarti lembaga kemahasiswaan harus bisa mebangun kerjasama dengan lembaga donasi yang tidak mengikat (kebijakan fund-raising). Olehnya itu mahasiswa ditintut memiliki Jiwa Enterpreneurship, pada wilayah ini mahasiswa memiliki kemampuan ‘kewirausahaan’ dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya

Setiap fase perjuangan mahasiswa memiliki konteks yang berbeda dimana mereka menghadapi tantangan yang berbeda pula. Pada hari ini kita menghadapi sebuah kondisi yang berbeda dengan gerakan kemahasiswaan pada tahun-tahun sebelumnya. Olehnya kita harus mampu mengatasi segala tantangan gerakan pada hari ini dan esok, dengan tetap menjadikan hari kemarin sebagai pelajaran. Kita juga harus berani melakukan sebuah perubahan atau pergeseran paradigma gerakan, jika memang kita telah merasakan bahwa paradigma gerakan kemahasiswaan selama ini tidak lagi mampu menjawab tantangan hari ini.

Tentunya kita mengharapkan wibawa dan citra gerakan kemahasiswaan akan tetap terjaga dimata rakyat, dan 10 sampai 20 tahun kedepan kita mengharapkan adanya sebuah perubahan yang mendasar, sebuah perubahan sistemik di Negara kita.
Semoga perubahan-perubahan pola gerakan yang kita lakukan mampu menjawab mandegnya gerakan kemahasiswaan hari ini. [Hzr]

1 komentar:

roket4d mengatakan...

wow this is sooo niceee,, i will ready all your articel until i die because so awesome and come to mine too Agen Bola Terpercaya thanks.
Prediksi Bola dan Togel Terupdate